Dulu Sawah Sekarang Kawah
Indonesia
adalah negara agraris dengan kekayaan dalam bidang pertanian yang melimpah.
Bukan sebuah istilah belaka, tapi memang sebuah fakta bahwa di Indonesia banyak
sekali sawah. Dan Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor produk
pertanian terbanyak. Sayangnya, karena pesatnya pembangunan dan pertumbuhan
penduduk, banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan,
pertokoan, dll.
Pemerintah
kurang tanggap dalam menyikapi hal ini, padahal seharusya pemerintah peka atas
masa depan Indonesia tentang pertaniannya. Lahan pertanian seperti sawah
seharusnya bisa dijadikan sebagai sumber pangan bangsa Indonesia. Seharusnya
dengan banyaknya lahan sawah di Indonesia, itu bisa mencukupi sebagian besar
kebutuhan warga negara Indonesia. Namun, faktanya beras saja masih import dari
luar negeri. Maka jangan salahkan petani bila beras tidak mencukupi kebutuhan.
Lahan
sawah tidak hanya penting sebagai penghasil padi dan palawija yang merupakan
barang privat (privat goods) yang memberikan keuntungan kepada petani,
tetapi juga memberikan barang dan jasa publik (public services) yang
dikenal dengan istilah multifungsi. Lahan sawah juga berfungsi sebagai mitigasi
banjir, mendaur ulang air, pengendali atau pengontrol erosi, mitigasi
peningkatan suhu udara, dan mendaur ulang limbah organik. Hijaunya alam,
indahnya pemandangan di sawah, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang orang.
Namun, seiring berkembangnya zaman dan bertambahnya populasi penduduk, alih
fungsi lahan sawah sulit untuk dibendung. Banyak petani yang menjual sawahnya
untuk dibangun menjadi pemukiman, pertokoan, kawah pertambangan, dll.
Datangnya
dua perusahaan tambang biji besi di Kabupaten Solok, Sumatra Barat menjadikan
222 hektar lahan pertanian terancam. Perusahaan tersebut akan membabat habis
lahan lahan di sana demi kelancaran mereka untuk menambang. Sungguh ironi
sekali daerah Kabupaten Solok kehilangan sebagian besar sawahnya untuk
dijadikan lahan tambang, padahal Kabupaten Solok merupakan salah satu daerah
yang mempunyai sawah terbesar. Hal ini juga menjadi perdebatan antara
masyarakat daerah sekitar dengan pemerintah daerah,
Di Kabupaten
Sijunjung, sekitar 548 hektare persawahan sudah dikonversi menjadi
pertambangan emas. Di Kabupaten Pasaman Barat, sekitar 11.000 hektare lahan
sebagai areal pertambangan, Kabupaten Pesisir Selatan 320 hektare. Lalu, di
Kabupaten Solok Selatan sekitar 274 hektare dan Kabupaten Dharmasraya
sekitar 22.509 hektare lahan siap jadi pertambangan. Masih banyak lagi
sawah sawah di Indonesia yang siap dilenyapkan dan terganti dengan lahan
tambang, perumahan, pertokoan. Mungkin, di masa yang akan dating masyarakat
akan bertani di teras rumah mereka, atau dengan menggunakan sistim hidroponik.
Indonesia dengan
julukan “Negara Agraris” seharusnya bisa mempertahankan kekayaan lahan
pertaniannya nan indah, namun pemerintah pusat dan pemerintah daerah mungkin
mempunyai pemikiran lain. Mereka lebih suka mengeksploitasi sumber daya alam
tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Mereka lebih suka menghanguskan
hutan, merobek lahan pertanian menjadi lahan pertambangan.
Bisa apa para
petani? Para investor perusahaan tambang yang sudah mempunyai izin untuk
mengeksploitasi lahan sawah melawa para petani yang memegang cangkul saja.
Padahal sawah adalah tempat mereka mencari rezeki, sekarang karena lahan mereka
sudah berubah, banyak sekali pengangguran dimana mana. Kalau di Indonesia para
penganggur itu mendapat gaji seperti di Arab Saudi sih tidak apa apa. Tapi di
Indonesia, dimana dia berkuasa disitu dia akan menang.
Memang sekarang
perkembangan industry semakin pesat, ini menjadikan usaha tambang menjadi banyak juga. Pius
Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, mengatakan, biaya
politik yang mahal untuk menjadi seorang pejabat kepala daerah kerap
mengorbankan SDA. “Dengan dalih peningkatan pendapatan daerah membukakan keran
investasi tanpa mempedulikan keberlanjutan umur SDA itu.”
Apakah atas dasar itu bisa semena mena mengubah lahan
sawah menjadi tambang? Perusahaan penggali tambang hanya memikirkan ke
egoisannya sendiri. Lahan bekas tambang ditinggalkan begitu saja tanpa
memikirkan masyarakan sekitar. Sedang masyarakat sekitar mengalami kerugian tak
terhingga, seperti tanah yang dulu jadi lahan pertanian atau sumber ekonomi,
tidak lagi dapat diusahakan. Bahkan, muncul penyakit baru yang dulu tidak
pernah dialami di wilayah itu, kerusakan ekologis, tercemar tata air setempat
dan lain-lain.
Begitulah, keadaan Indonesia saat ini. Julukan “Negara
Agraris” kini berubah menjadi “Negara Tambangris” . Harapan masyarakat kecil
semoga pemerintah bisa sadar akan hal ini. Paling tidak ada solusi untuk
mengatasi permasalahan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar