Jumat, 21 Oktober 2016

Teks Argumentasi

Dulu Sawah Sekarang Kawah
            Indonesia adalah negara agraris dengan kekayaan dalam bidang pertanian yang melimpah. Bukan sebuah istilah belaka, tapi memang sebuah fakta bahwa di Indonesia banyak sekali sawah. Dan Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor produk pertanian terbanyak. Sayangnya, karena pesatnya pembangunan dan pertumbuhan penduduk, banyak terjadi alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, pertokoan, dll.
            Pemerintah kurang tanggap dalam menyikapi hal ini, padahal seharusya pemerintah peka atas masa depan Indonesia tentang pertaniannya. Lahan pertanian seperti sawah seharusnya bisa dijadikan sebagai sumber pangan bangsa Indonesia. Seharusnya dengan banyaknya lahan sawah di Indonesia, itu bisa mencukupi sebagian besar kebutuhan warga negara Indonesia. Namun, faktanya beras saja masih import dari luar negeri. Maka jangan salahkan petani bila beras tidak mencukupi kebutuhan.
            Lahan sawah tidak hanya penting sebagai penghasil padi dan palawija yang merupakan barang privat (privat goods) yang memberikan keuntungan kepada petani, tetapi juga memberikan barang dan jasa publik (public services) yang dikenal dengan istilah multifungsi. Lahan sawah juga berfungsi sebagai mitigasi banjir, mendaur ulang air, pengendali atau pengontrol erosi, mitigasi peningkatan suhu udara, dan mendaur ulang limbah organik. Hijaunya alam, indahnya pemandangan di sawah, menjadi daya tarik tersendiri bagi orang orang. Namun, seiring berkembangnya zaman dan bertambahnya populasi penduduk, alih fungsi lahan sawah sulit untuk dibendung. Banyak petani yang menjual sawahnya untuk dibangun menjadi pemukiman, pertokoan, kawah pertambangan, dll.
            Datangnya dua perusahaan tambang biji besi di Kabupaten Solok, Sumatra Barat menjadikan 222 hektar lahan pertanian terancam. Perusahaan tersebut akan membabat habis lahan lahan di sana demi kelancaran mereka untuk menambang. Sungguh ironi sekali daerah Kabupaten Solok kehilangan sebagian besar sawahnya untuk dijadikan lahan tambang, padahal Kabupaten Solok merupakan salah satu daerah yang mempunyai sawah terbesar. Hal ini juga menjadi perdebatan antara masyarakat daerah sekitar dengan pemerintah daerah,
            Di Kabupaten Sijunjung,  sekitar 548 hektare persawahan sudah dikonversi menjadi pertambangan emas. Di Kabupaten Pasaman Barat, sekitar 11.000 hektare lahan sebagai areal pertambangan, Kabupaten Pesisir Selatan 320 hektare. Lalu, di Kabupaten Solok Selatan sekitar 274 hektare dan Kabupaten Dharmasraya  sekitar 22.509 hektare lahan siap jadi pertambangan. Masih banyak lagi sawah sawah di Indonesia yang siap dilenyapkan dan terganti dengan lahan tambang, perumahan, pertokoan. Mungkin, di masa yang akan dating masyarakat akan bertani di teras rumah mereka, atau dengan menggunakan sistim hidroponik.
            Indonesia dengan julukan “Negara Agraris” seharusnya bisa mempertahankan kekayaan lahan pertaniannya nan indah, namun pemerintah pusat dan pemerintah daerah mungkin mempunyai pemikiran lain. Mereka lebih suka mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memikirkan dampak yang akan terjadi. Mereka lebih suka menghanguskan hutan, merobek lahan pertanian menjadi lahan pertambangan.
            Bisa apa para petani? Para investor perusahaan tambang yang sudah mempunyai izin untuk mengeksploitasi lahan sawah melawa para petani yang memegang cangkul saja. Padahal sawah adalah tempat mereka mencari rezeki, sekarang karena lahan mereka sudah berubah, banyak sekali pengangguran dimana mana. Kalau di Indonesia para penganggur itu mendapat gaji seperti di Arab Saudi sih tidak apa apa. Tapi di Indonesia, dimana dia berkuasa disitu dia akan menang.
            Memang sekarang perkembangan industry semakin pesat, ini menjadikan usaha tambang menjadi banyak juga. Pius Ginting, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional, mengatakan, biaya politik yang mahal untuk menjadi seorang pejabat kepala daerah kerap mengorbankan SDA. “Dengan dalih peningkatan pendapatan daerah membukakan keran investasi tanpa mempedulikan keberlanjutan umur SDA itu.”
            Apakah atas dasar itu bisa semena mena mengubah lahan sawah menjadi tambang? Perusahaan penggali tambang hanya memikirkan ke egoisannya sendiri. Lahan bekas tambang ditinggalkan begitu saja tanpa memikirkan masyarakan sekitar. Sedang masyarakat sekitar mengalami kerugian tak terhingga, seperti tanah yang dulu jadi lahan pertanian atau sumber ekonomi, tidak lagi dapat diusahakan. Bahkan, muncul penyakit baru yang dulu tidak pernah dialami di wilayah itu, kerusakan ekologis, tercemar tata air setempat dan lain-lain.
            Begitulah, keadaan Indonesia saat ini. Julukan “Negara Agraris” kini berubah menjadi “Negara Tambangris” . Harapan masyarakat kecil semoga pemerintah bisa sadar akan hal ini. Paling tidak ada solusi untuk mengatasi permasalahan ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar