Senin, 27 Februari 2017

Perkembangan Moral dan Spiritual

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang diridhoi Allah SWT.
Maksud penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan yang diamanatkan oleh dosen penulis. Makalah ini kami buat berdasarkan buku penunjang yang miliki.dan untuk mempermudahnya kami juga menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini  banyak sekali kekurangannya baik dalam cara penulisan  maupun dalam isi.
Oleh karna itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.  Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang membaca makalah  ini, untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan moral dan spiritual. Aamiin



                                         


                                                                                                                                                                                                                                                                                                    Penulis



DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………………………………..i
Kata Pengantar………………………………………………………………………………ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………...……1
A.                Latar Belakang………………………………………………………………............1
B.                 Rumusan Masalah…………………………………………………………………...2
C.                 Tujuan Masalah..………………………………….......................………………..…2
D.                Manfaat………………………………………….......………………………............3
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………............4
A.                Definisi Perkembangan Moral………………………………………………………4
B.                 Definisi Perkembangan Spiritual................................................................................5
C.                 Teori Perkembangan Moral…………………………………………………………8
D.                Teori Perkembangan Spiritual……………………………………………………..13
E.                 Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan……………...15
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..17
A.                Kesimpulan………………………………………………………………………...17
B.                 Saran……………………………………………………………………….............17
Daftar Pustaka…….………………………………………………………………..............18






BAB 1
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Manusia dalam perspektif merupakan individu, keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis, sosiologis, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam psikologi perkembangan anak bahwa pemberian asuhan spiritual hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga kebutuhan spiritual manusia. Sehingga, pada nantinya manusia akan dapat merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang baik dari psikologi sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian asuhan psikologi kepada manusia.
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan, dimana aspek yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah peserta didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan norma hukum dan agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik karena setiap peserta didik berbeda-beda.
Dalam pendidikan dan pembelajaran diperlukan suatu pengetahuan akan perkembangan-perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek perkembangan peserta didik cukup banyak seperti perkembangan fisik, perkembangan intelektual, perkembangan moral, perkembangan spiritual atau kesadaran beragama dal lain sebagainya. Setiap aspek-aspek tersebut dapat dikaji berdasarkan fase-fasenya untuk membantu dalam memahami cara belajar dan tentunya sikap maupun tingkah laku peserta didik. Selain itu, aspek pembelajaran yang diberikan kepada para peserta didik juga berupa pendidikan moral dan spirituall untuk membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan harapan bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa Indonesia.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang dimaksud dengan perkembangan moral?
2.    Apa yang dimaksud dengan perkembangan spiritual?
3.    Apa teori-teori yang mendasari perkembangan moral pada peserta didik?
4.    Apa teori-teori yang mendasari perkembangan spiritual pada peserta didik?
5.    Bagaimana implikasi atau dampak perkembangan moral dan spiritual peserta didik terhadap pendidikan?

C.  Tujuan
1.    Untuk mengetahui pengertian perkembangan moral pada peserta didik.
2.    Untuk mengetahui pengertian perkembangan spiritual pada peserta didik.
3.    Untuk mengetahui teori-teori yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
4.    Untuk mengetahui teori-teori yang mendasari perkembangan spiritual pada peserta didik.
5.    Untuk mengetahui dan memahami dampak dari perkembangan moral dan spiritual peserta didik terhadap pendidikan.

D.  Manfaat
1.    Mengetahui pengertian perkembangan moral pada peserta didik.
2.    Mengetahui pengertian perkembangan spiritual pada peserta didik.
3.    Mengetahui teori-teori yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
4.    Mengetahui teori-teori yang mendasari perkembangan spiritual pada peserta didik.
5.    Mengetahui dan memahami dampak dari perkembangan moral dan spiritual peserta didik terhadap pendidikan.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Definisi Perkembangan Moral
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak). Banyak ahli menyumbangkan pemikirannya untuk mengartikan kata moral secara terminologi. [1] 
1.    Dagobert D. Runes : Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.
2.    Helden (1977) dan Richards (1971) : Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran, perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
3.    Atkinson (1969) : Moral merupakan pandangan tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan yang sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.sementara itu perilaku amoral atau nonmoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial, akan tetapi hal itu lebih disebabkan oleh ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai moral ini antara lain, seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, atau larangan untuk tidak berbuat kejahatan kepada orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang ditunjukkan melalui tingkah lakunya yang sesuai dengan adat dan sopan santun. Sebaliknya seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (“Perkembangan Moral” Santrock 1995). Perkembangan moral juga merupakan perubahan-perubahan perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh dilakukan dan mana yang baik atau boleh dilakukan sehingga terjadi perkembangan moral anak tersebut.
Tingkah laku yang bermoral merupakan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai tata cara/adat yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut tidak sama tergantung dari faktor kebudayaan setempat. Nilai moral merupakan sesuatu yang bukan diperoleh dari lahir melainkan dari luar.


B.  Definisi Perkembangan Spiritual
Spiritual berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit memberikan hidup, menjiwai seseorang. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha, dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang atau kuasaa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (believe) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope).
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan sepiritual merupakan sumber dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggungjawab dan mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara kreatif karya-karya baru.
Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal/hubungan antara diri sendiri, interpersonal/hubungan antara orang lain dengan lingkungan dan transpersonal/hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi. Jadi spiritual merupakan kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.
Perkembangan spiritual lebih spesifik membahas tentang kebutuhan manusia terhadap agama. Agama adalah sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Perkembangan spiritual diartikan sebagai tahap dimana seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik untuk membentuk kepercayaannya. Baik berupa kepercayaan yang berhubungan dengan religi maupun adat.
Perkembangan spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadist yang menjelaskan tentang fitrah beragama. Dalam perkembangannya, firtrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah SWT, sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada firman Allah:
1.    Surat Al-‘araf ayat 172 :
Artinya : “dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘bukankah aku ini tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘betul (engkau tuhan kami). Kami menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan tuhan).”

2.    Surat Ar-rum ayat 30, yang artinya:
Artinya : “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama allah, (tetaplah atas) fitrah allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Ituah agam lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

3.    Surat Asy-syamsu ayat 8 yang artinya:
 
Artinya : “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.”
C.  Teori Perkembangan Moral
1.    Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu,kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal menuju ke tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:
a.       Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:[2]
1.  Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbul kandari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
2.    Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
 Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan  kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di pusat perbelanjaan,

b.      Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga ,kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosialyang berlaku. Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya.
Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:[3]
1.  Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
 Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yangmenyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain.
Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitassuatu tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anakakan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
2.    Tahap Law and Order Orientation  
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagaitindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas,dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.

c.    Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilaidan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkandengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengankelompok.
Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral,yaitu:
1.    Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
 Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap initindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikanhak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telahdisepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaanindividu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkantercapainya musyawarah mufakat.
Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benardan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.[4]
2.    Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
 Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hokum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan ham, dan sebagainya.

2. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin, 2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anakadalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akanmembantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial[5].Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada merekatentang aturan permainan yang digunakan. Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah mengenal adanyaaturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainanyang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari pertikaianantar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua tahapan,yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous.
a.       Tahap heteronomous
Seseorang yang pada saat awal kehidupannya belum memiliki pendirian yang kuat dalam menentukan sikap dan perilaku atau dapat dikatakan bahwa dalam mnentukan pilihan keputusan sebuah perilaku masih dilandasi oleh anekaragam dan sering bertukarnya ketentuan dan kepentingan[6]. Contoh : anak kecil jika ditanya pilih warna merah atau kuning . Maka antara jawaban pertama kedua dan seterusnya besar kemungkinan akan berbeda.
 Heteronomous Morality :
1.    Merupakan tahap pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
2.    Pemikir Heteronomous menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku itu, bukan maksud dari pelaku. Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri sepotong kue.
3.    Pemikir Heteronomous yakin bahwa aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
4.    Ketika Piaget menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng), anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan tidak boleh diubah.
5.    Meyakini keadilan yang immanen, yaitu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.

b.      Tahap Autonomous
Seorang anak telah memiliki sikap dan perilaku moralitasnya yang tercermin dari dirinya dan telah didasari oleh pendiriannya sendiri. Contoh : anak yang menginginkan sebuah mainan dia akan tetap berusaha memainkan mainan tersebut meskipun harus antri menunggu giliran .
Autonomos Morality :
1.      Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku dianggap sebagai yang terpenting.
2.      Anak-anak yang lebih tua, yang merupakan pemikir Autonomos, dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan, perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut kesepakatan.
3.      Menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.

D.  Teori Perkembangan Spiritual
James Fowler mengemukakan bahwa antara kebutuhan kognitif dan emosional tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan spiritual. Spritual tidak dapat berkembang lebih cepat dari kemampuan intelektual dan tergantung pada perkembangan kepribadian. Jadi teori perkembangan spiritual Fowler meliputi ketidaksadaran, kebutuhan, kemampuan seseorang, dan perkembangan kognitif.[7]

Fowler melihat ada 6 fase perkembangan spiritual yaitu :
1.    Intuitive-projective faith
Fase ini minimal terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini manusia hanya fokus pada kualitas secara permukaan saja, seperti apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan tergantung pada luasnya fantasi dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib.
2.    Mythical-literal faith
Terjadi pada usia minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini, fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber utama dari pengetahuan, dan pembuktian fakta menjadi perlu. Pembuktian kebenaran bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri, tapi berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru, orang tua, buku, dan tradisi. Kepercayaan di fase ini mengarah pada sesuatu yang konkrit dan tergantung dari kredibilitas orang yang bercerita.
3.    Poetic-conventional faith
Terjadi pada usia minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini kepercayaan tergantung pada konsensus dari opini orang lain, orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi sumber informasi, tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka sendiri. Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian mereka tersebut.
4.    Individuating-reflective faith
Terjadi pada usia minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase yang ketiga remaja tidak dapat menemukan area pengalaman baru karena tergantung pada orang lain di kelompoknya yang belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini mulai mengambil tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi individu pada tahap ini tetap masih membutuhkan figure yang bisa diteladani.
Menurut Fowler Desmita (2009:280) pada tahap ini ditandai dengan :
a.    Adanya kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain, individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.    Mengabaikan kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif” sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan membantunya membentuk identitas diri. 
5.    Paradoxical-consolidation faith
Terjadi pada usia minimal 30 tahun. Disebut juga paradoxical-consolidation faith. Tahap ini ditandai dengan perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang.
6.    Universalizing faith
Terjadi pada usia minimal 40 tahun. Perkembangan agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcendental untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri dan pengosongan diri. Pristiwa-prisiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas.

E.  Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan moral dan spiritual, pendidikan sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis dan religious.Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).
Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik yaitu sebagai berikut :
1.      Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
2.      Memberikan pendidikan moral secara langsung, yakni pendidikan moral dengan pendidikan pada nilai dan juga sifat selam jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
3.      Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk di cari.
4.      Menjadikan wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari pengalaman keberagamaan.
5.      Membantu peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual paranting, seperti:
a.       Memupuk hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
b.      Menanyakan kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
c.       Memberikan kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
d.      Menyuruh anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka tidak melihat apapun (Desmita,2009:287).






















BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari penjelasan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
1.      Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain (Santroch, 1995).
2.      Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran Prakonvesional, Penalaran Konvensional, Penalaran Pascakonvensional
3.      Spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri sendiri (Witmer 1989).
4.      Karakteristik kebutuhan spiritual meliputi: Kepercayaan, Pemaafan, Cinta dan hubungan,Keyakinan, kreativitas dan harapan, Maksud dan tujuan serta anugrah dan harapan.
5.      Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan diantaranya sebagai berikut : Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kerikulum, Memberikan pendidikan moral langsung, Memberikan pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai.

B.  Saran
Demikian makalah yang dapat kami buat,kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan didalam makalah ini. Oleh karena itu, saya mohon kritik dan saran dari  pembaca. Agar penulis dapat memperbaiki makalah yang selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz  
       Media
Desmitha. 2010. Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT. Remaja
       Rosdakarya
Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta
Syamsuddin, Abin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya
Yusuf, Syamsu. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers



[1] Desmitha, Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 7

[2] Desmitha, Psikologi perkembangan peserta didik.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 14
[3] Desmitha, Psikologi perkembangan peserta didik.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 16

[4] Baharuddin, 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, hlm. 3
[5] Abin Syamsudin.. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya, 2007, hlm. 42
[6] Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 42
[7] Syamsu Yusuf. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar