KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita semua ke jalan kebenaran yang
diridhoi Allah SWT.
Maksud
penulis membuat makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi
Pendidikan yang diamanatkan oleh dosen penulis. Makalah ini kami buat
berdasarkan buku penunjang yang miliki.dan untuk mempermudahnya kami juga
menyertai berhubungan dengan kemajuan kedepan. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini banyak sekali kekurangannya baik dalam
cara penulisan maupun dalam isi.
Oleh karna itu saya
mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Mudah-mudahan makalah
ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis yang membuat dan umumnya bagi yang
membaca makalah ini, untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan
moral dan spiritual. Aamiin
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman Judul………………………………………………………………………………..i
Kata Pengantar………………………………………………………………………………ii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………...……1
A.
Latar Belakang………………………………………………………………............1
B.
Rumusan Masalah…………………………………………………………………...2
C.
Tujuan
Masalah..………………………………….......................………………..…2
D.
Manfaat………………………………………….......………………………............3
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………............4
A.
Definisi Perkembangan
Moral………………………………………………………4
B.
Definisi Perkembangan
Spiritual................................................................................5
C.
Teori
Perkembangan Moral…………………………………………………………8
D.
Teori
Perkembangan Spiritual……………………………………………………..13
E.
Implikasi
Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan……………...15
BAB III PENUTUP………………………………………………………………………..17
A.
Kesimpulan………………………………………………………………………...17
B.
Saran……………………………………………………………………….............17
Daftar
Pustaka…….………………………………………………………………..............18
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam perspektif merupakan individu,
keluarga atau masyarakat yang memiliki masalah moral, spirual dan membutuhkan
bantuan untuk dapat memelihara, mempertahankan dan meningkatkan spiritualnya
dalam kondisi optimal. Sebagai seorang manusia, manusia memiliki beberapa peran
dan fungsi seperti sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan.
Berdasarkan hakikat tersebut, maka perkembangan memandang manusia sebagai
mahluk yang holistik yang terdiri atas aspek fisiologis, psikologis,
sosiologis, kultural dan spiritual.
Tidak terpenuhinya kebutuhan manusia pada
salah satu diantara dimensi di atas akan menyebabkan ketidaksejahteraan atau
keadaan tidak sehat. Kondisi tersebut dapat dipahami mengingat dimensi fisik,
psikologis, sosial, spiritual, dan kultural merupakan satu kesatuan yang saling
berhubungan. Tiap bagian dari individu tersebut tidaklah akan mencapai
kesejahteraan tanpa keseluruhan bagian tersebut sejahtera. Kesadaran akan
pemahaman tersebut melahirkan keyakinan dalam psikologi perkembangan anak bahwa
pemberian asuhan spiritual hendaknya bersifat komprehensif atau holistik, yang
tidak saja memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan kultural tetapi juga
kebutuhan spiritual manusia. Sehingga, pada nantinya manusia akan dapat
merasakan kesejahteraan yang tidak hanya terfokus pada fisik maupun psikologis
saja, tetapi juga kesejateraan dalam aspek spiritual. Kesejahteraan spiritual
adalah suatu faktor yang terintegrasi dalam diri seorang individu secara
keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan. Spiritualitas memiliki
dimensi yang luas dalam kehidupan seseorang sehingga dibutuhkan pemahaman yang
baik dari psikologi sehingga mereka dapat mengaplikasikannya dalam pemberian
asuhan psikologi kepada manusia.
Pendidikan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan, dimana aspek
yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah peserta
didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun
mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan
norma hukum dan agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik
karena setiap peserta didik berbeda-beda.
Dalam
pendidikan dan pembelajaran diperlukan suatu pengetahuan akan
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek
perkembangan peserta didik cukup banyak seperti perkembangan fisik,
perkembangan intelektual, perkembangan moral, perkembangan spiritual atau
kesadaran beragama dal lain sebagainya. Setiap aspek-aspek tersebut dapat
dikaji berdasarkan fase-fasenya untuk membantu dalam memahami cara belajar dan
tentunya sikap maupun tingkah laku peserta didik. Selain itu, aspek
pembelajaran yang diberikan kepada para peserta didik juga berupa pendidikan
moral dan spirituall untuk membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan harapan
bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perkembangan moral?
2. Apa yang dimaksud dengan perkembangan
spiritual?
3. Apa teori-teori yang mendasari perkembangan
moral pada peserta didik?
4. Apa teori-teori yang mendasari perkembangan
spiritual pada peserta didik?
5. Bagaimana implikasi atau dampak perkembangan
moral dan spiritual peserta didik terhadap pendidikan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian perkembangan moral pada peserta didik.
2.
Untuk
mengetahui pengertian perkembangan spiritual pada peserta didik.
3.
Untuk mengetahui teori-teori
yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
4.
Untuk
mengetahui teori-teori yang mendasari perkembangan spiritual pada peserta
didik.
5.
Untuk
mengetahui dan memahami dampak dari perkembangan moral dan spiritual peserta
didik terhadap pendidikan.
D. Manfaat
1.
Mengetahui pengertian
perkembangan moral pada peserta didik.
2.
Mengetahui
pengertian perkembangan spiritual pada peserta didik.
3.
Mengetahui
teori-teori yang mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik.
4.
Mengetahui
teori-teori yang mendasari perkembangan spiritual pada peserta didik.
5.
Mengetahui
dan memahami dampak dari perkembangan moral dan spiritual peserta didik
terhadap pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Perkembangan Moral
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin
mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores
(adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak). Banyak ahli menyumbangkan
pemikirannya untuk mengartikan kata moral secara terminologi. [1]
1.
Dagobert
D. Runes : Moral adalah hal yang mendorong manusia untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik sebagai “kewajiban” atau “norma”.
2.
Helden
(1977) dan Richards (1971) : Moral adalah suatu kepekaan dalam pikiran,
perasaan, dan tindakan dibandingkan dengan tindakan-tindakan lain yang tidak
hanya berupa kepekaan terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan.
3. Atkinson (1969) : Moral merupakan pandangan
tentang baik dan buruk, benar dan salah, apa yang dapat dan tidak dapat
dilakukan Perilaku tak bermoral ialah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan
yang sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan
standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib menyesuaikan diri.sementara
itu perilaku amoral atau nonmoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan sosial, akan tetapi hal itu lebih disebabkan oleh ketidak acuhan
terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja terhadap standar
kelompok.
Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk
menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral.
Nilai-nilai moral ini antara lain, seruan untuk berbuat baik kepada orang lain,
atau larangan untuk tidak berbuat kejahatan kepada orang lain. Jadi dapat
disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas
baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan bermoral apabila ia
mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang ditunjukkan melalui tingkah lakunya
yang sesuai dengan adat dan sopan santun. Sebaliknya seseorang dikatakan
memiliki perilaku tak bermoral apabila perilakunya tidak sesuai dengan harapan
sosial yang disebabkan dengan ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang
adanya perasaan wajib menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau
nonmoral yang merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang
lebih disebabkan karena ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari
pada pelanggaran sengaja terhadap standar kelompok.
Perkembangan moral adalah perkembangan yang
berkaitan dengan aturan mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia
dalam interaksinya dengan orang lain (“Perkembangan Moral” Santrock 1995).
Perkembangan moral juga merupakan perubahan-perubahan perilaku yang terjadi
dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara, kebiasaan, adat, atau standar
nilai yang berlaku dalam kelompok sosial. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki
moral (imoral) akan tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk
dikembangkan. Melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua,
saudara, teman sebaya atau guru), anak belajar memahami tingkah laku mana yang
buruk atau tidak boleh dilakukan dan mana yang baik atau boleh dilakukan
sehingga terjadi perkembangan moral anak tersebut.
Tingkah laku yang bermoral merupakan tingkah laku yang
sesuai dengan nilai-nilai tata cara/adat yang terdapat dalam kelompok atau
masyarakat. Nilai-nilai moral tersebut tidak sama tergantung dari faktor
kebudayaan setempat. Nilai moral merupakan sesuatu yang bukan diperoleh dari
lahir melainkan dari luar.
B. Definisi Perkembangan Spiritual
Spiritual
berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit
memberikan hidup, menjiwai seseorang. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan
berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang.
Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan
sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha,
dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang
atau kuasaa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan (believe)
dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope).
Spiritual adalah suatu ragam konsep kesadaran individu
akan makna hidup, yang memungkinkan individu berpikir secara kontekstual dan
transformatif sehingga kita merasa sebagai satu pribadi yang utuh secara
intelektual, emosional, dan spiritual. Kecerdasan sepiritual merupakan sumber
dari kebijaksanaan dan kesadaran akan nilai dan makna hidup, serta memungkinkan
secara kreatif menemukan dan mengembangkan nilai-nilai dan makna baru dalam
kehidupan individu. Kecerdasan spiritual juga mampu menumbuhkan kesadaran bahwa
manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan diri secara bertanggungjawab dan
mampu memiliki wawasan mengenai kehidupan serta memungkinkan menciptakan secara
kreatif karya-karya baru.
Definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh
budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang
kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan
intrapersonal/hubungan antara diri sendiri, interpersonal/hubungan antara orang
lain dengan lingkungan dan transpersonal/hubungan yang tidak dapat dilihat
yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi. Jadi
spiritual merupakan kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang
didasarkan pada adat istiadat maupun ketuhanan.
Perkembangan spiritual lebih spesifik membahas tentang
kebutuhan manusia terhadap agama. Agama adalah sebagai sistem organisasi
kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa mengungkapkan dengan jelas
secara lahiriah mengenai spiritualitasnya. Perkembangan spiritual diartikan
sebagai tahap dimana seseorang yang dalam hal ini adalah peserta didik untuk
membentuk kepercayaannya. Baik berupa kepercayaan yang berhubungan dengan
religi maupun adat.
Perkembangan
spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadist yang menjelaskan tentang
fitrah beragama. Dalam perkembangannya, firtrah beragama ini ada yang berjalan
secara alamiah dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah SWT,
sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa
manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada
firman Allah:
1. Surat Al-‘araf ayat 172 :

Artinya : “dan ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘bukankah aku ini tuhanmu?’ mereka
menjawab: ‘betul (engkau tuhan kami). Kami menjadi saksi (kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat tidak mengatakan, sesungguhnya kami adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan tuhan).”
2.
Surat Ar-rum
ayat 30, yang artinya:

Artinya : “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama allah, (tetaplah atas) fitrah allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Ituah agam lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
3.
Surat
Asy-syamsu ayat 8 yang artinya:

Artinya : “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
kefasikan dan ketakwaannya.”
C. Teori Perkembangan Moral
1.
Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat
prekonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat postkonvensional (Slavin, 2006:54). Menurut pandangan Kohlberg
dari tiga tingkatan tersebut,
anak harus melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju ke tahap selanjutnya ketika anak
mampu menemukan ‘aturan’ pada tahap itu,kemudian anak harus meninggalkan
penalaran moral dari tahap awal menuju ke
tahap berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak
mampu menguasainya (Manning, 1977:108).
Berikut ini adalah tiga tingkat perkembangan
moral menurut Kohlberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap
perkembangan moral:
a. Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama
ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik
atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma
tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan.
Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang
menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua
tahap yaitu:[2]
1.
Tahap Punishment
and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara
umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbul kandari suatu tindakan
sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat
sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan
tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
2.
Tahap
Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini,
suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi
kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan
kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai
tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini hubungan
antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan yang berlangsung di
pusat perbelanjaan,
b.
Tingkat Konvensional
Pada tingkat
perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga ,kelompok,
masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut
dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan
sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib
sosialyang berlaku. Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh,
mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha
aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun
dengan kelompok di sekitarnya.
Pada tingkat konvensional
ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:[3]
1.
Tahap
Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini,
tindakan yang bermoral adalah tindakan yangmenyenangkan, membantu, atau
tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain.
Anak biasanya akan menyesuaikan diri dengan apa yang dimaksud tindakan bermoral. Moralitassuatu
tindakan diukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap
anakakan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
2.
Tahap Law
and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu
mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk
memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagaitindakan yang
mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas,dan
pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang
ada.
c.
Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri
anak untuk menentukan nilai-nilaidan prinsip-prinsip moral yang memiliki
validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkandengan otoritas kelompok maupun
individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengankelompok.
Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap
perkembangan moral,yaitu:
1.
Tahap
Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang
cukup tinggi. Pada tahap initindakan yang dianggap bermoral merupakan
tindakan-tindakan yang mampu merefleksikanhak-hak individu dan memenuhi
ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telahdisepakati oleh
masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari
perbedaanindividu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang
memungkinkantercapainya musyawarah mufakat.
Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat
benardan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat
pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika
dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.[4]
2.
Tahap
Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang
benar tidak harus dibatasi oleh hokum atau aturan dari kelompok sosial atau
masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi
prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih luas dan
abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan ham,
dan sebagainya.
2. Perkembangan Moral Menurut Jean Piaget
Perkembangan
moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam Slavin,
2006:51) bahkan mempercayai bahwa struktur kognitif
dan kemampuan kognitif anakadalah dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan
kognitif itulah yang kemudian akanmembantu anak untuk mengembangkan penalaran
yang berkaitan dengan masalah sosial[5].Untuk mempelajari penalaran moral anak-anak, Piaget menghabiskan
waktu yang panjang untuk mengamati anak-anak yang sedang bermain kelereng dan menanyakan kepada merekatentang aturan permainan yang digunakan. Dalam
permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah
usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai usia 6 tahun sudah
mengenal adanyaaturan dalam permainan, meskipun mereka belum menerapkannya
dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah mampu mengikuti aturan permainanyang
berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut dibuat untuk menghindari
pertikaianantar pemain.
Piaget kemudian membagi tahap perkembangan moral anak menjadi dua
tahapan,yaitu tahap heteronomous dan tahap autonomous.
a. Tahap
heteronomous
Seseorang yang pada saat awal
kehidupannya belum memiliki pendirian yang kuat dalam menentukan sikap dan
perilaku atau dapat dikatakan bahwa dalam mnentukan pilihan keputusan sebuah
perilaku masih dilandasi oleh anekaragam dan sering bertukarnya ketentuan dan
kepentingan[6].
Contoh : anak kecil jika ditanya pilih warna merah atau kuning . Maka antara
jawaban pertama kedua dan seterusnya besar kemungkinan akan berbeda.
Heteronomous Morality :
1. Merupakan tahap
pertama perkembangan moral menurut teori Piaget yang terjadi kira-kira pada
usia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat
dunia yang tidak boleh berubah, yang lepas dari kendali manusia.
2. Pemikir Heteronomous menilai
kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan akibat dari perilaku
itu, bukan maksud dari pelaku. Misal: memecahkan 12 gelas secara tidak sengaja
lebih buruk daripada memecahkan 1 gelas dengan sengaja, ketika mencoba mencuri
sepotong kue.
3. Pemikir Heteronomous yakin bahwa
aturan tidak boleh berubah dan digugurkan oleh semua otoritas yang berkuasa.
4. Ketika Piaget
menyarankan agar aturan diganti dengan aturan baru (dalam permainan kelereng),
anak-anak kecil menolak. Mereka bersikeras bahwa aturan harus selalu sama dan
tidak boleh diubah.
5. Meyakini keadilan
yang immanen, yaitu konsep bahwa bila
suatu aturan dilanggar, hukuman akan dikenakan segera.
b. Tahap Autonomous
Seorang anak telah memiliki sikap dan perilaku
moralitasnya yang tercermin dari dirinya dan telah didasari oleh pendiriannya
sendiri. Contoh : anak yang menginginkan sebuah mainan dia akan tetap berusaha
memainkan mainan tersebut meskipun harus antri menunggu giliran .
Autonomos Morality :
1. Bagi pemikir Autonomos, maksud pelaku
dianggap sebagai yang terpenting.
2. Anak-anak yang lebih
tua, yang merupakan pemikir Autonomos,
dapat menerima perubahan dan mengakui bahwa aturan hanyalah masalah kenyamanan,
perjanjian yang sudah disetujui secara sosial, tunduk pada perubahan menurut
kesepakatan.
3. Menyadari bahwa
hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi apabila seseorang yang
relevan menyaksikan kesalahan sehingga hukuman pun menjadi tak terelakkan.
D. Teori Perkembangan Spiritual
James Fowler mengemukakan bahwa antara kebutuhan
kognitif dan emosional tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan spiritual.
Spritual tidak dapat berkembang lebih cepat dari kemampuan intelektual dan
tergantung pada perkembangan kepribadian. Jadi teori perkembangan spiritual
Fowler meliputi ketidaksadaran, kebutuhan, kemampuan seseorang, dan
perkembangan kognitif.[7]
Fowler melihat ada 6
fase perkembangan spiritual yaitu :
1.
Intuitive-projective faith
Fase ini minimal
terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini manusia hanya fokus pada kualitas
secara permukaan saja, seperti apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan
tergantung pada luasnya fantasi dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan
direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib.
2.
Mythical-literal faith
Terjadi pada usia
minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini, fantasi sudah tidak lagi menjadi
sumber utama dari pengetahuan, dan pembuktian fakta menjadi perlu. Pembuktian
kebenaran bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri, tapi
berasal dari sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru, orang tua, buku,
dan tradisi. Kepercayaan di fase ini mengarah pada sesuatu yang konkrit dan
tergantung dari kredibilitas orang yang bercerita.
3.
Poetic-conventional faith
Terjadi pada usia
minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini kepercayaan tergantung pada konsensus
dari opini orang lain, orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi
sumber informasi, tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka sendiri.
Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian mereka
tersebut.
4.
Individuating-reflective faith
Terjadi pada usia
minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase yang ketiga remaja tidak dapat menemukan
area pengalaman baru karena tergantung pada orang lain di kelompoknya yang
belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini mulai mengambil
tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi
individu pada tahap ini tetap masih membutuhkan figure yang bisa diteladani.
Menurut Fowler Desmita (2009:280) pada tahap
ini ditandai dengan :
a.
Adanya
kesadaran terhadap relativitas pandangan dunia yang diberikan orang lain,
individu mengambil jarak kritis terhadap asumsi-asumsi sistem nilai terdahulu.
b.
Mengabaikan
kepercayaan terhadap otoritas eksternal dengan munculnya “ego eksekutif”
sebagai tanggung jawab dalam memilih antara prioritas dan komitmen yang akan
membantunya membentuk identitas diri.
5.
Paradoxical-consolidation faith
Terjadi pada usia
minimal 30 tahun. Disebut
juga paradoxical-consolidation faith. Tahap ini ditandai dengan
perasaan terintegrasi dengan symbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama.
Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap pandangan-pandangan yang
paradoks dan bertentangan, yang berasal dari kesadaran akan keterbatasan dan
pembatasan seseorang.
6.
Universalizing faith
Terjadi pada usia
minimal 40 tahun. Perkembangan
agama pada masa ini ditandai dengan munculnya sistem kepercayaan transcendental
untuk mencapai perasaan ketuhanan, serta adanya desentransasi diri dan
pengosongan diri. Pristiwa-prisiwa konflik tidak selamanya dipandangan sebagai
paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran
universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak
kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan
perspektifnya sendiri dengan perspektif orang lain yang masuk dalam jangkauan
universal yang paling luas.
E. Implikasi Perkembangan Moral dan Spiritual
terhadap Pendidikan
Untuk mengembangkan moral dan spiritual, pendidikan
sekolah formal yang di tuntut untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan
moral dan spiritual mereka, sehingga mereka dapat menjadi manusia yang moralis
dan religious.Sejatinya pendidikan tidak boleh menghasilkan manusia bermental
benalu dalam masyarakat, yakni lulusan pendidikan formal yang hanya
menggantungkan hidup pada pekerjaan formal semata. Pendidikan selayaknya
menanamkan kemandirian, kerja keras dan kreatifitas yang dapat membekali
manusianya agar bisa survive dan berguna dalam masyarakat (Elmubarok,2008:30).
Strategi yang mungkin dilakukan guru di sekolah dalam
membantu perkembangan moral dan spiritual peserta didik yaitu sebagai berikut :
1.
Memberikan
pendidikan moral dan keagamaan melalui kurikulum tersembunyi, yakni menjadi
sekolah sebagai atmosfer moral dan agama secara keseluruhan.
2.
Memberikan
pendidikan moral secara langsung, yakni pendidikan moral dengan pendidikan pada
nilai dan juga sifat selam jangka waktu tertentu atau menyatukan nilai-nilai
dan sifat-sifat tersebut ke dalam kurikulum.
3.
Memberikan
pendekatan moral melalui pendekatan klarifikasi nilai, yaitu pendekatan
pendidikan moral tidak langsung yang berfokus pada upaya membantu siswa untuk
memperoleh kejelasan mengenai tujuan hidup mereka dan apa yang berharga untuk
di cari.
4.
Menjadikan
wahana yang kondusif bagi peserta didik untuk menghayati agamanya, tidak hanya
sekedar bersifat teoritis, tetapi penghayatan yang benar-benar dikontruksi dari
pengalaman keberagamaan.
5.
Membantu
peserta didik mengembangkan rasa ketuhanan melalui pendekatan spiritual
paranting, seperti:
a.
Memupuk
hubungan sadar anak dengan tuhan melalui doa setiap hari.
b.
Menanyakan
kepada anak bagaimana tuhan terlibat dalam aktivitasnya sehari-hari.
c.
Memberikan
kesadaran kepada anak bahwa tuhan akan membimbing kita apabila kita meminta.
d.
Menyuruh
anak merenungkan bahwa tuhan itu ada dalam jiwa mereka dengan cara menjelaskan
bahwa mereka tidak dapat melihat diri mereka tumbuh atau mendengar darah mereka
mengalir, tetapi tahu bahwa semua itu sungguh-sungguh terjadi sekalipun mereka
tidak melihat apapun (Desmita,2009:287).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
penjelasan makalah di atas dapat di simpulkan sebagai berikut :
1.
Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santroch, 1995).
2.
Menurut
teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap yaitu: Penalaran
Prakonvesional, Penalaran Konvensional, Penalaran Pascakonvensional
3.
Spiritualitas didefinisikan sebagai suatu kepercayaan akan adanya suatu
kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri sendiri (Witmer 1989).
4.
Karakteristik
kebutuhan spiritual meliputi: Kepercayaan, Pemaafan, Cinta dan
hubungan,Keyakinan, kreativitas dan harapan, Maksud dan tujuan serta anugrah
dan harapan.
5.
Implikasi
Perkembangan Moral dan Spiritual Terhadap Pendidikan diantaranya sebagai
berikut : Memberikan pendidikan moral dan keagamaan melalui kerikulum,
Memberikan pendidikan moral langsung, Memberikan pendekatan moral melalui
pendekatan klarifikasi nilai.
B. Saran
Demikian makalah yang
dapat kami buat,kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan didalam makalah
ini. Oleh karena itu, saya mohon kritik dan saran dari pembaca. Agar penulis dapat memperbaiki
makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin. 2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta:
Ar-Ruzz
Media
Desmitha. 2010. Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Hartono, Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta
Syamsuddin, Abin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya
Yusuf, Syamsu. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar