ALIRAN
ALIRAN DALAM FIQIH
1.
Pengertian
Madzhab
Kata
mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim
makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânahath-Thalibin, I/12).
A.
Secara Bahasa
1.
Dalam kamus Al – Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam, dijelaskan
bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
Ø Kata “madzhab”
berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki
arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
Ø Madzhab adalah
aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam
mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
2.
Menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya
“pendapat” .
3.
Mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan
(ath-tharîq).
B. Secara Istilah
1. Menurut
Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang
ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran
dan hadits.
2. Menurut
K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam istilah islam berarti pendapat, paham
atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti Imam Abu
Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam syafi’i mazhab Imam Maliki, dan
lain-lain.
3. Menurut
A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar
dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
4. Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok
pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah
atau mengistinbatkan hukum Islam.
5. Menurut istlah ushul fiqh
1. Mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum
Islam, yang digali darid alil-dalil syariat yang rinci serta berbagai
kaidah (qawâ’id ) dan landasan (ushûl ) yang mendasari
pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994:
08; Abdullah, 1995: 197).
2. Menurut Muhammad Husain
Abdullah (1995:197),istilah mazhab mencakup dua hal:
Ø Sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid;
Ø Ushul fikih yang
menjadi jalan(tharîq) yang
ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci
3. Wahbah Az –
Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung
berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada
kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
4. Muslim Ibrahim,
memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pikiran yang
merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali
dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat diijtihadkan.
5. Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab inidengan berkata, “Setiap mazhab
dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah alistinbâth) dan pendapat tertentu dalamhukum-hukum
syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395)
2.
Macam-macam Madzhab
Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab
fiqih sebagai berikut :
A. Sunni/Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Adalah kumpulan dari orang-orang yang menganut
sunnah Nabi Muhammad SAW seperti yang sudah dilakukan oleh kelompok para
sahabat di masa lalu.
Ø Ahl Al-Ra’yu
Yang sifatnya membatasi diri dengan sekedar yang
ada di dalam nash. Kelompok ini dikenal pula dengan Madzhab Hanafi.
Ø Ahl Al-Hadist
Yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan
meneliti illat-illat hukum. Madzhab-madzhab terdiri atas:
a.
Madzhab Maliki
b.
Madzhab Syafi’i
c.
Mazhab Hambali
B. Syi’ah
Syi’ah berarti pembela. Yakni pembela keluarga
atau Ahli Bait Nabi Muhammad.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Madzhab-madzhab terdiri atas:
Ø Syi’ah Ja’fari
Ø Syi’ah Zaidiyah
Ø Syi’ah Imamiyah
C. Khawarij
Yakni kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang
keluar meninggalkan barisan Ali karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali
yang menerima perdamaian dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648M dengan
kelompok Muawiyah bin Abu Sofyan. Kelompok ini dikenal pula dengan Madzhab
Khawarij
D. Madzhab-madzhab yang telah musnah
Ø Madzhab Al-Auza’i
Ø Madzhab Al-Zhahiry
Ø Madzhab Al-Thabary
Ø Madzhab Al-Laitsi
3.
Pembahasan
Lengkap
A. Mahdzab
Hanafi
Ø BIOGRAFI
Mazhab ini dinamai sesuai
dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy
al-Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi
Thalib, bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi
keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari keturunannya
muncul Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/ 699M
dan wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M. Beliau ini berasal dari keturunan
Persia, yang menjalani hidup didua masa kekhalifahan yang sosial politiknya
berbeda, yaitu masa akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan
abbasiyyah.[1]
Beliau dikenal dengan
sebutan “Abu Hanifah” , sebab dalam kebiasaan bangsa Arab, nama
putra (yaitu Hanifah) dijadikan sebagai sebuah nama panggilan bagi ayahnya
dengan menggunakan kata “Bapak (Abu/Ayah)”, sehingga lebih dikenal dengan
sebutan “Abu Hanifah”.
Dalam kaitannya dengan
sebutan tersebut, Yusuf Musa berpendapat bahwa sebutan tersebut lebih
disebabkan adanya kehidupan kesehariannya yang selalu berteman dengan tinta
(dawat) guna menulis dan mencatat semua ilmu pengetahuan yang didapat dari
teman-temannya dan kata “Hanifah” dalam bahasa berarti “Tinta”. Karena inilah,
beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dalam segala hal, baik belajarnya
maupun peribadatannya, sebab kata “hanif” dalam bahasa Arab juga berarti
“condong” kepada hal-hal yang benar, sehingga pada masa kedua khalifah, beliau
tetap saja tidak menjabat sebagai qadli, karena tidak senang pada kemewahan
setelah jabatan itu dipegangnya.[2]
Dalam studinya, pada awalnya
Abu Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada Idris
‘Asham, al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang berkembang
pada saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena ketajamannya
dalam memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat Argumentasi yang dapat
menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang sangat ekstrim, sehingga beliau
menjadi salah satu tokoh theologi Islam.
Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang
dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud (w. 63
H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman
al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy
(al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin
Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para
fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin
Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.[3]
Untuk mencari tambahan dari
apa yang telah didapat di Kuffah, Abu Hanifah beberapa
beberapa kali pergi ke Hijaz dan Makkah meskipun tidak begitu lama untuk
mendalami Fiqh dan al-Hadits dan tempat ini pulalah beliau dapatbertemudan
berdiskusi dalam berbagai bidang ilmu Fiqh dengan salah seorang murid Abdullah
bin Abbas ra, sehingga tidak mengherankan jika sepuluh tahun sepeninggal guru
besarnya (Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary tahun 130 H), Majlis Madrasah
Kuffah bersepakat untuk mengangkat beliau Abu Hanifah sebagai Kepala Madrasah
dan selama itu beliau mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwanya dalam
bidang fiqh. Kemudian fatwa-fatwa itulah yang menjadi dasar pemikiraan Hanafi
sampai sekarang. Keberhasilan beliau ini pada hakikatnya terdorong oleh nasihat
para guru setianya, diantaranya adalah Imam Amir ibn Syahrilal-Sya’biy dan
Hammad ibn Sulaiman al-Asy’Ary.
Di samping itu semasa
hidupnya, beliau dikenal sebagai sosok ‘ulama’ yang sangat dalam keilmuan
keagamaannya, ahli zuhud, sangat tawadlu’ dan teguh dalam memegangi
prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan beliau tidak tertarik sama sekali pada
jabatan-jabatan pemerintahan yang pernah ditawarkan kepadanya.
Ilmu yang dimiliki oleh Abu
Hanifah demikian luas terutama temuan-temuannya di bidang hukum dan memecahkan
masalah-masalahnya sejumlah 60.000 masalah, hingga ia digelar dengan Imam
al-A’zdam dan kekuasaan ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi’i, beliau berkata:
“manusia dalam bidang hukum adalah orang-orang yang berpegang kepada Abu
Hanifah”.[4]
Tampaknya ilmu Abu Hanifah bukan
hanya bidang hukum tetapi juga meliputi bidang-bidang lainnya termasuk tasawuf.[5]
Kehidupan Abu Hanifah di masa Dinasti
Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abasiyyah selama 18 tahun. Dengan
demikian beliau mengetahui hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam antara kedua
Dinasti tersebut. Ketika Umar bin abdul aziz berkuasa (99-101 H), Abu Hanifah
sudah menjelang dewasa.[6]
Untuk menjamin ekonominya,
Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur dan
lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini.[7]
Bakat berdagangnya didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain
sutra asli Persia, yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur rasyidin.[8]
Abu Hanifah dibesarkan di
Kufah. Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu
Hanifah lahir. Anas bin malik di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal
bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah, Abu al-Thufail, Amir bin Wailah di Mekah.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau sempat berjumpa dengan Anas bin Malik
di Mekah. Kalau ini benar maka Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Tetapi
karena sebagian besar ilmunya diperoleh dari generasi tabiit-tabi’in, maka
tidak tepat dia disebut tabi’in. Seperti halnya ulama lain, Abu Hanifah
menguasai ilmu kalam (dikenal dengan fiqh al-Kabir) dan ilmu fiqh. Dari segi
lokasi di mana ia dibesarkan, dapat diperkirakan bahwa pemikiran keagamaan yang
dikembangkan oleh Abu Hanifah adalah pemikiran Rasional.[9]
Imam Abu Hanifah wafat pada
tahun 150 H/ 767 M pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pakuburan Khizra,
kemudian pada tahun 450 H /1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama
“Al-Jami’ Abu Hanifah”.
Dari keberhasilan Abu
Hanifah dalam mendidik ratusan murid yang memeliki wawasan luas dalam bidang
fiqh, maka wajar jika sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tersebar luas
melalui para muridnya yaang memang cukup banyak. Diantaranya adalah Abu Yusuf,
Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah bin Hasan al-Syaibaniy dan lain-lain,
sehingga tidak heran jika murid-muridnya menjabat sebagai Hakim dalam
pemerintahan dinasti Abbasiyyah, Saljuk, Utsmani dan Mongol.[10]
Ø
POLA PEMIKIRAN DAN METODE ISTINBATH
Imam
Abu Hanifah termasuk ulama’ yang tangguh dalam memegangi prinsip pemikirannya.
Hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di
pemerintahan, tetap saja tidak mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan
Bani Umayyah di Kuffah yang dijalaninya selama 52 tahun maupun kekholifahan
Bani Abasiyyah di bagdad selama 18 tahun, bahkan yang menawarinya adalah
penguasa kerajaan sendiri, yaitu Yazid bin Umar dari kerajaan Bani Umayyah dan
Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan Bani Abbasiyyah sebagai seorang Hakim.
Akibatnya beliau dipenjarakan sampai meninggal dunia.
Dalam
perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun ( yang mana
pemerintahannya dipegang oleh Bani Umayyah yang berpusat di Kufah) pernah
menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam satu sisi, kota ini
memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah
seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam al-A’dlam”. Akan tetapi disisi
lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota yang penuh teror yang di dalamnya
diwarnai dengan pergolakan politik.[11]
Sedang
untuk mengetahui methode Istidlal Imam Abu
Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu:
1.
“Sesungguhnya saya mengambil kitab al-Qur’an dalam menetapkan
Hukum, jika tidak ditemukan, maka saya mengambilnya dari al-Hadits yang shahih
dan yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak
ditemukan dari keduanya, maka saya mengambilnya dari pendapat orang-orang
terpercaya yang aku kehendaki, lalu saya tidak keluar dari pandangan mereka.
Jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id
ibn Musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
2.
Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum
dalam al-Qur’an, kalau tidak ada saya mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi,
kalau tidak ada, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya memilih mana
yang saya anggap paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka
saya pun melakukan ijtihad.”
3.
Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:”
inilah pendapatku dab jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari
aku, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”
4.
Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang
telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau
menjawab:” Demi Allah, boleh jadi itu adalah suatu fatwa yang salah yang tidak
diragukan lagi akan kesalahannya.”[12]
Untuk lebih jelasnya,
dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum
berdasarkan urutannya, yaitu:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah. Kualifikasi
as-Sunnah ini harus shahih, mutawatir dan juga dikenal secara luas (masyhur). Madzhab
Hanafi menolak menggunakan hadis uang diriwayatkan oleh satu orang saja yang
disebut hadis ahad.
3. Perkataan sahabat
4. Al-Qiyas
5. Al-Istihsa, yaitu
berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan
qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
6. Al-‘Urf, yaitu tradisi
masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau dengan perkataan lain
adalah adat kebiasaan. Tentu saja ‘urf ini harus sejalan dengan semangat
syari’ah, sedangkan ‘urf yang bertentangan dengan jelas ditolak oleh madzhab
Hanafi.
Berdasarkan kenyataan dari pernyataan
diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum syar’i
(beristidlal), tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari
al-Qur’an dan al-Sunnah yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi
mempergunakan al-ra’yu, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah,
sehingga beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta
‘urf mereka.
Dengan demikian, dalam
beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap mempergunakan al-Qiyas sebagai dasar
pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan al-Qiyas, maka berpegang pada
istihsan selama dapat dilakukan. Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada
adat dan ‘Urf.
Dalam mengistinbath hukum,
Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan
Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut
Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang
digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa
Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad
Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan,
India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.[13]
Ø KARYA-KARYA
DAN PENGIKUT IMAM HANAFI
Dalam menelusuri
sejauh mana penyebaran dana perkembangan suatu mazhab, diperlukanlah adanya
pengungkapan terhadap sejauh mana karya-karya yang telah dihasilkannya itu
beredar dan dikembangkan oleh generasi penerusnya. Maka dari itu, karya-karya
yang telah dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok pengembangan
mazhabnya dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun masih dalam bentuk
sebuah majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu sebagai berikut:[14]
1. Kitab Fikh al-Akbar
2. Kitab al-‘Alim wa
al-Mu’allim
3. Kitab al-Musnad fi
Fiqh al-Akbar
Karya ushul fiqh di kalangan
Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitabushul fiqh yang
khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
1.
al-Fushul fi Ushul Fiqh karya
Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam
al-Quran.
2.
Taqwim al-Adillah karya
Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3.
Kanz al-Wushul ila Ma’rifat
al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4.
Ushul Fiqh karya Imam
al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)
Dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali
menyatakan bahwa karya-karya Abu Hanifah, baik yang berkaitan dengan
fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu ( pada masa beliau masih hidup)
belum dibukukan, tetapi baru setelah wafat, muri-murid dan pengikutnya
membukukan, sehingga menjadi mazhab ahl al-Ra’yi ini menjadi hidup dan
berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah Madrasah yang
kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah Ahl al-Ra’yi,
selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum Islam sebagai
“Madrasah Kufah”.
Ø MURID-MURID
ABU HANIFAH
Sistem Penyebaran dari suatu pemikiran seorang tokoh, dapat dilihat dari
adanya dan tidaknya para murid dan pendukungnya, diantaranya adalah sebagai
berikut:[15]
1. Abu
Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Auza’iy (113-182 H)
Dan beliau
ini menjadi seorang “Qadlibal-Qudhat (ketua Hakim tinggi yang diberi kekuasaan
untuk mengangkat para Hakim daerah) pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan
menyusun kitab dengan judul: “al-Kharaj” yang membahas tentang “Hukum Pajak
Tanah”.
2.
Muhammad
bin Hasan bin Farqad al-Syaibany (132-189 H)
Dan
beliau inilah, salah satu murid Abu Hanifah yang banyak sekali menyusun dan
mengembangkan hasil karya Abu hanifah, diantaranya yang terkenal adalah
Al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:[16]
1.
Kitab al-Mabsuth
2.
Kitab al-Ziyad
3.
Kitab al-Jami’
al-Shaghir
4.
Kitab al-Jami’
al-Kabir
5.
Kitab al-Siyarul Kabir
6.
Kitab al-Siyarul
Shaghir
3.
Zufar bin Huzaili (110-189 H)
Beliau merupakan salah
satu ulama Abu Hanifah yang mengikuti contoh gurunya, dan menolak menerima
tawaran sebagai Qadli meskipun banyak sekali tawaran menarik disodorkan
kepadanya. Zufar lebih memilih untuk mengajar, yang terus dilakukan hingga dia
wafat pada usia 42 tahun di Basrah.[17]
Dengan Demikian, maka
melalui karya-karya itulah Abu Hanifah dan mazhabnya
berpengaruh sangat luas dalam dunia Islam, khususnya mereka yang berhaluan
sunny, sehingga pada masa pemerintahan dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah,
mazhab Abu Hanifah menjadi sebuah aliran mazhab yang paling banyak diikuti dan
dianut oleh ummat Islam, bahkan pada kerajaan “Utsmani” menjadi salah satu
aliran ,azhab resmi negara dan sampai sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas
di samping aliran mazhab syafi’i.[18]
Ø PARA PENGIKUT
MAZHAB HANAFI
Para pengikut mazhab
Hanafi saat ini sebagian besar tersebar di daerah India, Afghanistan, Iraq,
Syria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname dan juga sebagian di antaranya berada
di daerah Mesir. Ketika para penguasa Kerajaan Ottonom menyusun Undang-Undang
hukum Islam berdasarkan mazhab Hanafi pada abad ke 19 dan menjadikannya sebagai
hukum resmi negara, siapapun ulama’ yang berkeinginan menjadi seorang hakim
diwajibkan untuk mempelajarinya. Dengan demikian, mazhab ini tersebar luas di
sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan Ottoman di akhir abad ke -19.[19]
Ø PERKEMBANGAN
MAZHAB IMAM HANAFI
Mazhab Hanafi
tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab
berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah
berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa
Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di
seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan
para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas
penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.[20]
Dapat dikatakan
bahwa perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan
menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan mazhab-mazhab
lain. Hal ini disebabkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut:
1.
Pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, ia menjadi
alirang Mazhab yang secara umum menjadi pegangan masyarakat di Irak yang dapat
mengalahkan Mazhab lain lantaran pengaruhnya dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan.
2.
Pada masa kekhalifahan Ustmaniyyah, Mazhab ini
menjadi mazhab resmi pemerintahan, bahkan berubah menjadi satu-satunya sumber
dari panitia negara dalam menyusun kitab “Majallah al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi
Hukum Islam).[21]
Dari kedua
kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah berkembang pesat di
berbagai negara, khususnya negara-negara yang pada masa dahulu tunduk kepada
keduanya, seperti:
1.
Mesir, Syria dan Lebanon
2.
Tunisia yang menjadi mazhab keamiran.
3.
Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya
tunduk kepada kekuasaan Turki
4.
Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum
dipakai oleh masyarakat.
5.
Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan
dalam bidang peribadatan.
6.
Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk
muslim yang berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga para penganutnya di
negara-negara lain.
Dengan demikian, maka
kenyataan seperti itu dapat disimpulkan bahwa kesemua penganut aliran Mazhab
Hanafi itu lebih kurang ada sepertiga dari jumlah seluruh ummat Islam sedunia.[22]
Pandangan Ulama
Terhadap Abu Hanifah
Beberapa penilaian para ulama
tentang Abu Hanifah,yang diantaranya adalah:
·
Yahya bin
Ma’in berkata: “Abu Hanifah termasuk seorang yang tsiqoh, beliau itu tidak membicarakan
hadits kecuali yang beliau hafal dan beliau tidak membicarakan perihal apapun
yang tidak beliau hafal”. Dan pada saat (di waktu) yang lain Yahya bin Ma’ain
berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqoh didalam hadits”. Dan beliau
juga pernah berkata bahwa, “Abu hanifah laa ba’sa bih, ia tidak tertuduh dengan
berdusta, dan ia tidak berdusta, ia orang yang jujur, …”.
·
Abdullah
ibnul Mubarok berkata: “Kalau saja Allah SWT tidak menolong saya melalui Abu
Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan menjadi seperti orang
biasa”. Dan beliau juga berkata: “Abu Hanifah merupakan orang yang
paling-faqih”. Dan beliau pun juga pernah berkata : “Aku berkata kepada Sufyan
Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, Abu Hanifah adalah orang yang paling jauh dari
perbuatan ghibah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah walaupun
kepada musuhnya’ dan kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, beliau adalah orang
yang paling berakal, beliau tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan
ghibah’.” Beliau berkata, “Aku datang menuju ke kota Kufah, kemudian aku
bertanya (kepada mereka) siapakah orang yang paling wara’ di (kota) Kufah ini?
Maka mereka penduduk Kufah pun menjawab: Abu Hanifah”. Beliau juga berkata,
“Apabila atsar sudah diketahui, masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam
Malik, Sufyan dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya
ialah Abu Hanifah … dan beliau adalah orang yang paling faqih dari ketiganya”.
·
Al-Qodhi
Abu Yusuf berkata: “Abu Hanifah pernah berkata: tidak selayaknya/pantas bagi
seseorang berbicara tentang hadits kecuali semua yang ia hafal sebagaimana ia
mendengarnya”. Kemudian beliau pun berkata : “Saya tidak melihat seorang pun
yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih
hadits selain Abu Hanifah”.
·
Imam Syafii
berkata: “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam
masalah fiqih hendaklah ia belajar kepada Abu Hanifah”.
·
Fudhail bin
Iyadh berkata: “Abu Hanifah adalah seseorang yang faqih, terkenal dengan
wara’-nya, termasuk juga salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan
mengajarkan ilmunya, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan baik,
menghindari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ pun mengatakan hal serupa dengan
perkataan Fudhail bin Iyadh.
·
Yahya bin
Sa’id al-Qothan, berkata : “(sungguh) Kami tidak mendustakan Allah SWT, kami
tidak pernah mendengar pendapat yang lebih baik dari yang lain selain pendapat
Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapat darinya”.
·
Hafsh bin
Ghiyats, berkata: “(sungguh) Pendapat Abu Hanifah didalam masalah fiqih,
pendapatnya lebih mendalam dibandingkan dengan syair, dan tidak ada seorang pun
yang mencelanya melainkan mereka itu orang yang jahil tentangnya”.
·
Al-Khuroibi,
berkata : “(sungguh) Tidaklah orang-orang itu mencela Abu Hanifah melainkan
mereka itu termasuk pendengki atau orang yang jahil”.
·
Sufyan bin
Uyainah, berkata : “Semoga Allah SWT (selalu) merahmati Abu Hanifah sebab
beliau adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya ( orang yang banyak
melakukan shalat)”.
B. Mahdzab Hambali
Ø
BIOGRAFI IMAM AHMAD IBN HANBAL
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Hanbal ibn Asad ibn Idris ibn
Abdullah ibn Hasan al-Saybaniy. Beliau lahir di Bagdad tahun 164 H/780 M dan
wafat tahun 241 H/855 M di kota ini juga dalam usia 70 tahun. Ibunya bernama
Syariah Maimunah binti Abdul Malik ibnu Sawa dan ibnu Hindun al-Saybaniy. Jadi
baik dari arah ayah maupun ibu, imam Ahmad ibn Hanbal berasal dari keturunan
"Bani Syaiban", salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung
Arabia.[23]
Kedua orang tua Imam Ahmad Ibn Hanbal berasal dari kota Marwin,
wilayah Khurasan, ayahnya keninggal pada saat beliau masih dalam kandungan
ibunya dan ketika ibunya pergi ke Baghdad, lahirlah Imam Ahmad Ibu Hambal di
Baghdad pada bulan Rabi' al-Awwal tahun 164 H. dan berdomisili di Baghdad
sampai meniggal dunia pada tahun 241 H.
Imam
Hanbali dilahirkan pada masa
pemerintahan Islam ada di tangan Muhammad Al Mahdy (dari Banu Abbas yang III),
yang pusat kekuasaannya ada di kota Baghdad, jadi beliau dilahirkan di pusat
ibu kota pemerintahan bani Abbasiyah.[24]
Ibnu
Hanbal hidup sebagai seorang yang
rendah dan miskin, karena bapaknya tidak meninggalkan warisan padanya selain
dari sebuah rumah yang kecil yang didiaminya, dan sedikit tanah yang sedikit
penghasilannya. Oleh kaena itu beliau menempuh kehidupan yang susah beberapa
lama sehingga beliau terpaksa bekerja untuk mencari kebutuhan hidup.[25]
Sejak kecil sudah tampak minatnya kepada agama,
beliau menghafal al-Quran, mendalami bahasa arab, belajar hadist, atsar sahabat
dan tabi’in serta sejarah nabi dan para sahabat. Beliau belajar fiqh dari Abu
Yusuf muridnya Abu Hanifah dan dari imam Al-Syafi’i, tetapi perhatiannya kepada
hadits ternyata lebih besar. Beliau belajar Hadits di Bagdad, Basrah, Kufah,
Mekkah, Madinah dan Yaman. Beliau selalu menuliskan Hadist dengan
perawai-perawainya dan cara ini pun diharuskan kepada murid-muridnya.[26]
Imam Ahmad belajar fiqh kepada imam asy-syafi’i semasa dia berada di Bagdad.
Akhirnya Imam Ahmad menjadi seorang mujtahid mustaqil.[27]
Ø
POLA PEMIKIRAN DAN METODE
ISTINBATH IMAM AHMAD IBN HANBAL
Pada hakikatnya para ulama bersepakat bahwa Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah salah seorang pemuka ahli
al-Hadits dan tidak pernah menulis secara khusus kitab fiqh, sebab semua
masalah fiqh yang dikaitkan dengan diri beliau itu hanyalah berasal dari
fatwa-fatwanya yang menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang pernah
diajukan kepadanya, sedang yang menjadi sebuah kitab fiqh adalah pengikutnya.[28]
Fiqh Ahmad Ibn Hanbal itu pada dasarnya lebih
banyak didasarkan pada al-Hadits, dalam artian jika terdapat al-Hadits
al-Shahih, yang diambil hanyalah al-Hadits al-Shahih tanpa mau memperhatikan
adanya faktor lainnya. Dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa
sahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi jika ditemukan adanya beberapa fatwa
para sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka
yang mendekati al-Qur'an dan al-Hadits.
Para ulama' berselisih pandangan tentang posisi Imam
Ahmad Ibn Hanbal sebagai ulama' yang ahli dalam bidang fiqh, sebab kenyataannya
Imam Ahmad Ibn Hanbal tidak terlalu mempertimbangkan adanya
pendapat-pendapatnya pada saat menghadapi perbedaan dalam masalah fiqh
dikalangan para fuqaha', mangingat posisinya sebagai ahl al-Hadits, sehingga
beliau ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok ahl fiqh, sebab dasar
pijakan fiqhnya lebih banyak kepada al-Hadits.
Dengan melihat pola pemikiran Imam Ahmad Ibn
Hanbal, maka metode istidlal yang dipakai dalam menetapkan hukum
Islam adalah sebagai berikut;
1.
Al-Qur'an dan al-Sunnah al-Sahih
Jika Imam Ahmad Ibn Hanbal sudah menemukan Nash,
baik al-Qur'an maupun al-Hadits al-Sahih, maka dalam menetapkan hukum Islam
adalah dengan Nash tersebut sekalipun ada faktor-faktor lain yang boleh jadi bisa
dipakai bahan pertimbangan. Menurutnya bahwa nas adalah sumber hukum tertinggi.
2.
Fatwa Para Sahabat Nabi saw
Jika tidak ditemukan dalam Nash yang jelas, maka
beliau menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada
perselisihan diantara mereka. Jika terjadi perselisihan, maka yang diambil
adalah fatwa-fatwa yang beliau pandang lebih dekat kepada Nash, baik al-Qur'an
maupun al-Hadits.
3.
Al-Hadits al-Mursal dan al-Hadits Dlaif
Jika dari ketiganya tidak ditemukan, maka beliau
menetapkannya dari dasar al-Hadits al-Mursal atau al-Hadits al-Dlaif.[11]
Alasan mendahulukan hadiys dlaif dari pada Qiyas adalah pernyataan beliau
“berpegang kepada hadis dlaif lebih saya sukai dari pada qiyas”.
4.
Al-Qiyas
Jika dari semua sumber di atas tidak ditemukan, maka
Imam Ahmad Ibn Hanbal menetapkan hukuum islam dengan mempergunakan:
a. Al-Qiyas
b. Maslahah Mursalah, terutama
dalam bidang sosial politik. Contoh:
1. Menetapkan hukum ta'zir
bagi mereka yang selalu berbuat kerusakan.
2. Menetapkan hukum had yang
lebih berat terhadap mereka yang meminum minuman keras di siang hari di bulan
Ramadhan.
Adapun hal-hal yang berkaitan masalah hukum halal
dan haram beliau sangat teliti dalam mengkaji beberapa al-Hadits dan sanadnya
yang terkait dengannya, tetapi beliau sangat longgar dalam menerima al-Hadits
yang berkaitan dengan masalah akhlaq, fadla'il al-a'mal atau adat istiadat yang
terpuja.
Ø
KARYA DAN PENGIKUT IMAM AHMAD
IBN HANBAL
Ibnu Hanbal tidak mengarang selain dari hadits dan
sunnah. Pada keseluruhan kitab-kitabnya membicarakan hadits-hadits rasulullah
SAW. sehingga surat atau risalahnya pun juga dengan pembicaraan yang sama.
Kesemuanya berdasarkan kepada dalil-dalil dari al-Qur'an atau
percakapan-percakapan Rasulullah juga sahabat-sahabatnya.
Kitabnya yang termasyhur sekali adalah Al-Masnad
yang mana beliau menghimpun di dalamnya beberapa banyak hadits-hadits
Rasulullah SAW. beliau mulai menyusun kitab tersebut pada tahun 180 H dan
dijadikan kitabnya sebagai panutan atau Imam.
Ibnu
Hanbal memuatkan ke dalam kitabnya
Al-Masnad empat puluh ribu hadits. Beliau telah memilihnya dari tuju ratus ribu
hadits. Sebagian dari para ulama' mengatakan semua hadits-haditsnya adalah
sahih.
Karza-karya Imam Ahmad Ibnu Hanbal yang lain adalah
Al-Naskh wa al-Mansukh, al-Muqaddam wa al-Muakhkharfi al-Qur'an, al-TArikh,
Manasik al-Kubra, Manasik al-Sughra, Tha'ah al-Rasul dan kitab al-Salah.
Ø PENGIKUT
IMAM AHMAD IBN HANBAL
Sebagian
besar pengikut Mazhab Hanbali tersebar di Palestina dan Saudi Arabia. Tetapi
eksisnya mazhab Hanbali di Saudi Arabia, sesudah tidak ditemukan lagi di negeri
muslim manapun adalah karena adanya fakta bahwa pendiri dari yang dinamakan
Gerakan Revivalis Wahabi, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, pernah belajar kepada
para ulama' yang menganut mazhab Hanbali dan dengan demikian secara tidak resmi
menjadi mazhab fiqh dari gerakan Revivalis tersebut. Ketika Abdul Azis bin Saud
merebut sebagian besar semenanjung Arabia dan mendirikan dinasti Sa'ud, ia
menjadikan Mazhab Hanbali sebagai dasar sistem hukum kerajaan.
Adapun
dari antara para murid beliau yang akhirnya menjadi ulama' besar dan terkemuka
serta terkenal yaitu: Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu Zur'ah Ar-Razy, Abu
Zur'ah al-Damasyqy, Ibnu Abi Dunya, Abu Bakar al-Atsram, Hanbal bin Ishaq
Asy-Syaibani (putra dari paman beliau sendiri).
Masih
banyak lagi sahabat-sahabat imam Ahmad ibn Hanbal, pengikut-pengikut serta
murid-muridnya yang menyalin dan menulis ilmu fiqh Ibnu Hanbal diantara mereka
terdapat juga anaknya yang bernama Salih, yaitu anaknya yang tertua. Beliau
seorang yang sangat bersungguh-sugguh tentang hadits-hadits seperti ayahnya. Beliau
meninggal dunia pada tahun 290 hijriyah.
Ø
PERKEMBANGAN MAZHAB HANBALI
Perlu
diketahui bahwa Mazhab Hanbali ini boleh dikatakan sebagai suatu
mazhab yang daerah perkembangannya kurang begitu luas, di mana pada awalnya
tersiar di Bagdad lalu pada abad ke empat hijriyah dapat berkembang di luar
Irak dan pada abad ke enam dapat juga berkembang di Mesir.[29]
Pada
awalnya mazhab ini dihidupkan dan di perbaharui oleh beberapa mujtahid, seperti
Ibnu Taimiyah dan murid-murid Ibnu Qayyim, lalu pada abad kedua belas dilakukan
lagi pembaharuan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab di Najm dengan
memperbaharui sistem penyebarannya dalam bentuk gerakan, yang lazim dikenal
dengan sebutan gerakan wahhabi.
Dari
pembaharuan sistem baru dalam penyebaran mazhab seperti itulah, maka mazhab
Ibnu Hanbal berkembang dan menyebar secara signifikan diberbagai wilayah Saudi
Arabiyyah.
C. Madzab Syafi’i
Ø BIOGRAFI IMAM SYAFI’I
Nama asli dari Imam Syafi’i adalah
Muhammad bin Idris. Gelar beliau adalah Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan
nama biasanya mendahulukan gelar dari nama, sehingga berbunyi; Abu Abdillah
Muhammad bin Idris. Beliau lahir di Gazza, bagian Selatan dari Palestina, pada
tahun 150 H/767M, pertengahan abad kedua Hijriyah. Ada ahli sejarah mengatakan
bahwa beliau lahir di Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena
Gazza dahulunya adalah daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i bukan di
Gazza Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya Ibu-Bapaknya datang ke
Gazza untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau lahir. Ketika ia
masih kecil, bapaknya meninggal di Gazza, dan ia menjadi anak yatim yang hanya
diasuh oleh ibunya saja.
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua
kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i yaitu:
1. Sewaktu
Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar
dari perutnya dan terus naik membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah
bercerai dan berserak menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi
menakbirkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi
seluruh jagad. Sekarang menjadi kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi’i memang
memenuhi dunia, bukan saja di tanah Arab, di Timur Tengah dan Afrika, tetapi
juga sampai ke Timur Jauh, Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan
lain-lain.
2. Pada
hari Imam Syafi’i dilahirkan, dua orang ulama besar meninggal dunia. Seorang di
Baghdad ( Iraq), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (pembangun Mazhab
Hanafi) dan seorang lagi di Mekkah, yaitu Imam Ibnu Jurej al Maky, mufti Hijaz
ketika itu. Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa
anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan
kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.[30]
Nenek moyang Imam Syafi’i adalah
Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Abu Yazid bin
Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushai. Abdul Manaf bin Qushai
yang menjadi nenek ke-9 dari Imam Syafi’i adalah Abdul Manaf bin Qushai nenek
yang ke-4 dari Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang Nabi Muhammad sebagai dimaklumi
adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin
Qushai bin Kilab bin dan Marah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihir bin
Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Ma’ad bin
Adnan sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim AS. Teranglah bahwa silsilah
Imam Syafi’i senenek moyang dengan Nabi Muhammad SAW. Adapun dari pihak Ibu;
Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jadi Imam
Syafi’i adalah cucu dari cucu Saidina Ali bin Abi Thalib, menantu Sahabat Nabi
dan Khalifah ke IV.3 Dalam sejarah ditemukan bahwa Saib bin Abu Yazid Nenek
Imam Syafi’i yang ke-5 adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi baik dipandang
dari segi keturunan darah maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam
Syafi’i yang kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad SAW.
Gelar Syafi’i dari Imam Syafi’i diambil dari neneknya yang ke-4 yaitu Syafi’i
bin Saib. Dengan demikian, Imam Syafi’i adalah dilahirkan dari keturunan suku
Quraish, keturunan orang alim dan arif serta masih merupakan keluarga keturunan
Nabi Muhammad SAW. Ia besar dalam keadaan yatim dan lahir dari keturunan Arab
suku Quraisy. Imam Syafi’i lahir dalam keluarga yang mulia dari segi keturunan
dan keilmuan , tetapi ia tumbuh besar dalam keadaan yatim, sehingga ia hidup
dalam kesederhanaan. Hidup Imam Syafi’i ketika kecil tidak terlalu miskin
sehingga membuatnya hina dan juga tidak keluarga yang kaya sehingga ibunya bisa
memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Bahkan ia diasuh oleh ibunya dalam keadaan
serba kekurangan.
Setelah pada usia remaja, ia mulai
menggeluti pendidikan. Pendidikan dimulainya dengan belajar bahasa Arab dari
penutur asli Bahasa Arab, yaitu Bani Huzail. Selanjutnya ia belajar ilmu hadis,
ilmu fikih dan Al-Qur’an di Mekkah. Pendidikan ini dilanjutkan ke Madinah pada
usia 21 tahun. Imam Syafi’i belajar di Medianah kepada Imam Malik dan guru-guru
yang ada di Madinah. Ia bersama Imam Malik hingga gurunya tersebut meninggal.
Setelah Imam Malik meninggal dunia,
Imam Syafi’i hijrah ke Yaman untuk mengabdi kepada pemerintah sebagai
sekretaris pemerintahan. Di Yaman beliau juga mengabdi sebagai guru dan sambil
belajar. Di negeri Yaman inilah Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti
Nafi’, seorang puteri keturunan saidina Usman bin Affan. Usia beliau sewaktu
menikah lebih kurang 30 tahun dengan mendapatkan anak sebanyak tiga orang,
yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Anak laki-laki ini bernama
Muhammad bin Syafi’i yang kemudian menjadi ulama besar dan menjadi qadhi di
jazirah. Namun karena fitnah yang menimpanya dengan tuduhan terlibat dalam
kegiatan politik kelompok Syiah yang menentang khalifah, maka pada tahun 184
Imam Syafi’i ditangkap dan di bawa ke Baghdad untuk menghadap khalifah Harun al
Rasyid.
Setelah Imam Syafi’i bebas dari
segala tuduhan, maka ia kembali ke Mekkah. Ia mengabdi sebagai guru di Mekkah
selama lebih kurang 17 tahun. Ia telah meninggalkan Mekkah selama lebih kurang
11 tahun semenjak usia 20 tahun. Di Mekkah ini ia menaburkan ilmu kepada
murid-muridnya dan jemaah haji sehingga ia mulai dikenal kaum muslimin8 . Pada
saat di Mekkah ini, Imam Syafi’i belum menjadi Imam Mujtahid Muthlak, ia masih
mengajarkan apa yang dituntutnya selama ini, baik itu di Mekkah, Madinah dan di
Baghdad.
Pada tahun 198 H, Imam Syafi’i
berangkat ke Kota Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan negara. Ia berangkat ke
Baghdad setelah Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan as Syaibany, dan Khalifah
Harun al-Rasyid wafat. Di Baghdad inilah Imam Syafi’i mulai mendirikan mazhab
dengan metodenya sendiri. Ia tidak terikat sekali lagi dengan metode yang
ditempuh oleh para gurunya, baik itu yang ada di Madinah pendiri Mazhab Maliki
yang terkenal dengan ahlu hadis maupun para gurunya yang ada di Baghdad yang
dikenal dengan ahlu ra’yi. Sesudah usia Imam Syafi’i 48 Tahun dan telah belajar
dan mengajar selama 40 tahun, ia baru mendirikan mazhab Syafi’i dengan metode
sendiri. Di Baghdad ini, Imam Syafi’i telah menghasilkan karya-karyanya yang
berkaitan dengan ushul fiqh dan fikih. Pendapat-pendapat beliau yang ada di
Baghdad ini disebut dengan qaul qadim. Imam Syafi’i hanya sebulan di Baghdad,
kemudian ia pun hijrah ke Mesir. Di Mesir ia juga mengajar sebagaimana di
Baghdad. Ia menjadi ulama besar di Baghdad, dan begitu juga di Mesir. Sekitar
hampir enam tahun lamanya Imam Syafi’i menetap di Mesir. Ia telah berhasil
mengajar dan berkarya. Pendapatpendapat Imam Syafi’i di Mesir disebut dengan
qaul jadid. Pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab sehabis waktu Isya,
tahun 204 H/820 M, Imam Syafi’i wafat disamping muridnya ar Rabi’ al Jizzy.
Ø PERIODE FIQIH IMAM SYAFI’I
A. Periode
Pertama
Makkah
adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah
meninggalkan kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota
Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu
pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan
mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu
dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu
pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut
bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi
ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di
Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan
menghimpun berbagai hadits. upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana
kedudukan hadits di sisi al-Qur’an kitab ar-Risalah adalah buah karya
Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan
Abdurrahman al-Mahdi.
B. Periode Kedua
Imam
Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama
kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi
berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat
dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan
pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i
memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
C. Periode
Ketiga
Imam
Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun
199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam
Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai
sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan
dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki bebeerapa
ingkatan: pertama, al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap
valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak
ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat
salah satu sahabat lain yang menentangnya. Keempat, sesuatu
yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas.
Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada
al-qur’an dan hadits.
Ø INTLEKTUAL IMAM SYAFI’I
1.
Pendidikan
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bukanlah ahli pendidikan, tetapi ia
adalah praktisi pendidikan sebagai guru. Imam Syafi’i adalah ahli hukum tetapi
ia bukan praktisi hukum. Ia banyak mengajarkan hukum tetapi tidak pernah jadi
hakim. Ia lama jadi murid dan guru, tetapi ia tidak berkarya tentang
pendidikan. Secara sosial, kehidupan masa Imam Syafi’i sedang berkembang ilmu
pengetahuan yang pesat. Pada masa ini muncul pemikir-pemikir Islam dalam ilmu
kalam, filsafat dan politik. Politik yang berkembang adalah Syi’ah, Khawarij,
Murji’ah dan Muktazilah. Filsafat juga sedang berkembang, dimana buku-buku
filsafat dari Yunani dan Romawi banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab.
Daulah yang berdiri pada masa Imam Syafi’i adalah Daulah Abbasiyah dengan
Khalifah Harun al Rasyid, al Makmun dan al Amin. Ketiga khalifah ini adalah
khalifah pada masa kejayaan Islam. Hal ini berpengaruh kepada budaya intlektual
yang diterima Imam Syafi’i.[31]
Pendidikan Imam Syafi’i dimulai sejak dini. Setelah
berusia sekitar dua tahun, ibunya membawa Imam Syafi’i kembali ke Mekkah
kampung halaman ayah dan ibunya. Selama di Mekkah inilah Imam Syafi’i belajar
Sastra Arab, membaca Al-Qur’an, Hadis dan Fiqih pada awalnya.
Semasa masih kecil, Imam Syafi’i belajar Bahasa Arab
dari penutur asli. Penutur asli yang dimaksud adalah ia belajar langsung ke
daerah Arab pedalaman atau yang disebut Arab Badui. Kalau di Kota Mekkah sudah
tidak asli lagi, karena sudah bercampur dengan pendatang. Imam Syafi’i belajar
Bahasa Arab kepada suku atau kabilah Huzail. Atas persetujuan ibunya, ia
menetap bersama masyarakat suku Huzail. Pada masa itu kabilah Huzail terkenal
dengan kemahiran tata bahasa dan sastra Arab. Mereka banyak yang mampu
menggubah syair-syair yang indah serta dapat mengucapkan bahasa Arab dengan
fasih dan murni. Imam Syafi’i belajar bersama mereka sehingga ia merasa mampu
menguasai bahasa Arab yang benar dan indah. Ia mampu menguasai syair Imrun ul
Qois, syair Zuheir, syair Jarir dan lain-lain.
Setelah kembali dari pedusunan Arab Mekkah, Imam
Syafi’i melanjutkan pendidikannya di kota Mekkah. Di Kota ini ia belajar
membaca al-Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthien. Dalam usia tujuh tahun ia
telah mampu menghafal Al-Qur’an 30 juznya. Sedangkan ilmu fikih dipelajarinya
dari mufti Hijaz pada masa itu, yaitu Muslim bin Khalid az Zanji dan belajar
hadis kepada Sofyan bin Uyainah (w. 198). Selama di Mekkah, Imam Syafi’i telah
belajar Sastra dan Tata Bahasa Arab, Al-Qur’an, Hadis dan Fiqh.
Pendidikan di Mekkah tidak memuaskan hati Imam Syafi’i
walaupun ia sudah banyak mengetahui berbagai ilmu, karena ia adalah orang yang
sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan pendidikannya ke Madinah.
Alasan beliau untuk melanjutkan pendidkan kesana adalah karena disana ada
seorang ulama yang sangat pintar dan terkenal, yaitu Malik bin Anas pendiri
Mazhab Maliki. Dengan perbekalan hafal Al-Qur’an dan kitab Muwattha’ dan surat
rekomendasi dari gurunya Muslim bin Khalid az Zanji dan walikota Mekkah, maka
Imam Syafi’i berangkat menuju Madinah untuk berguru kepada Imam Malik.
Sesampai di Madinah, Imam Syafi’i diantar oleh Wali
Kota Madinah menuju rumah Imam Malik. Imam Malik setelah
menerima surat dari Wali Kota Mekkah yang dialamatkan kepadanya, menyindir
dengan mengatakan: “Subhanallah, mengapa menuntut ilmu Rasulullah pakai
perantara?”.
Wali
Kota Madinah mempersilahkan Imam Syafi’i mengutarakan tujuannya. Imam Syafi’i
berkata: Mudah-mudahan tuan dikaruniai Allah, saya ini dari kaum Muthalib
datang kemari dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari tuan guru karena saya sudah
lama mengetahui ilmu tuan guru, tetapi sekarang hendak mendengar dengan telinga
sendiri pengajian-pengajian dari tuan guru”.
Sesudah
Imam Malik memperhatikan Imam Syafi’i , lalu ia berkata: “ Siapa namamu?”.
Imam
Syafi’i menjawab: “Muhammad bin Idris”.
Imam
Malik menyambung, “Hai Muhammad, bertaqwalah kepada Tuhan dan jauhilah sekalian
kedurhakaan. Saya melihat padamu akan terjadi apa-apa.”
“Baiklah,
“ kata Imam Malik, “Besok datanglah lagi dan akan saya suruh orang membacakan
al Muwattha’ kepadamu.”
Jawab
Imam Syafi’i, “Tidak perlu dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal di
luar kepala kitab al Muwattha’ itu.”
Imam
Malik menjawab, “Kalau begitu keadaannya, cobalah baca”. Imam Syafi’i lantas
membaca kitab al Muwattha’ yang didengar oleh Imam Malik dengan seksama dan
disana-sini membetulkan pembacaan-pembacaan Imam Syafi’i yang lancar itu.
Sesungguhnya Imam Malik sangat kagum melihat pemuda itu, karena masih dalam
usia muda remaja sudah mendalam ilmunya, sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci
dan hadis-hadis Nabi dan kaedah-kaedah Bahasa Arab.
Imam
Syafi’i belajar kepada Imam Malik di Madinah selama dua tahun. Dia belajar
banyak kepada Imam Malik. Disamping belajar, Imam Syafi’i juga bertugas
membantu Imam Malik untuk mendiktekan kitab Muwattha’ kepada murid-murid yang
lain, padahal murid-murid tersebut adalah ulama yang berasal dari berbagai
kota, seperti Mesir. Di antara murid Malik bin Anas yang didiktekan oleh Imam
Syafi’i kepadanya kitab Muwattha’ adalah Abdullah bin Abdul Hakam, Asyhab Ibnu
Qasim dan al Laits bin Sa’ad dari Mesir.[32]
Selama
di Madinah, Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik selama tujuh tahun dalam dua
periode. Periode pertama adalah pada tahun 170 H s/d 172 H. Periode kedua
adalah 174 H-179 H. Pada periode pertama dan kedua, Imam Syafi’i tinggal
bersama dengan Imam Malik. Dengan demikian, metode pendidikan yang diterapkan
oleh Imam Syafi’i adalah metode mushâhabah.
Imam
Syafi’i tidak hanya mendengarkan pelajaran di Mesjid, tetapi juga dengan
pergaulan bersama Imam Malik. Periode kedua adalah setelah Imam Syafi’i kembali
dari Baghdad. Pada periode ini, Imam Syafi’i sudah mendapatkan banyak ilmu.
Imam Malik bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i dan bahkan sudah ada
pertanda dari Imam Malik bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melibihi ilmunya. Imam
Syafi’i telah belajar kepada Imam Malik pendiri Mazhab Maliki dan juga kepada
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, murid dan sahabat Imam Abu Hanifah.
Dengan demikian, ilmu yang didapatkan oleh Imam syafi’i adalah gabungan dari
ilmu pendiri Mazhab Maliki dan pendiri Mazhab Hanafi.
Setelah
periode pertama belajar kepada Imam Malik selama dua tahun, Imam Syafi’i ingin
melanjutkan studinya ke Baghdad, karena disana masih ada sahabat dan murid Imam
Abu Hanifah sang pendiri Mazhab Hanafi. Mereka adalah Qadhi Abu Yusuf dan
Muhammad bin Hasan. Untuk berangkat ke Mesir, Imam Malik tidak hanya melepaskan
muridnya begitu saja, tetapi ia memberikan perbekalan selama dalam perjalanan.
Imam Malik menghadiahkan sebanyak 50 dinar emas, cukup untuk belanja dan
menginap disitu beberapa waktu lamanya karena ongkos kendaraan dari Madinah ke
Iraq hanya empat dinar emas.
Sesampainya
di Kufah, Imam Syafi’i menetap di rumah Imam Muhammad bin Hasan. Imam Syafi’i
belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan dan Qadhi Abu Yusuf. Imam Syafi’i juga
mencatat, mengutip dan menyalin beberapa naskah dari kitab-kitab yang ada di
rumah Imam Muhammad. Imam Syafi’i, Imam Muhammad bin Hasan dan Qadhi Abu Yusuf
sering melakukan mubahatsah, muzakarah, dan munaqasyah. Imam Syafi’i dapat
menguasai fiqih ahli Iraq. Ia dapat menambah pengetahuan tentang cara-cara
qadhy memeriksa perkara dan memutuskannya, memberi fatwa dan menjatuhkan hukuman
dan sebagainya yang dilakukan oleh para qadhy dan mufti disana, yang selamanya
belum pernah beliau ketahui di negeri Hijaz.
Disamping belajar kepada guru, Imam Syafi’i dapat
menambah pengetahuan serta pengalaman tentang keadaan perikehidupan dan
pergaulan penduduk di sana, dan menambahkan pula pengertian beliau tentang adat
istiadat dan tabiat bangsabangsa lainnya, yang selama beliau di Hijaz belum
pernah diketahui. Dilatarbelakangi oleh perasaan tidak puas terhadap ilmu, Imam
Syafi’i melanjutkan pendidikannya menuju daerah Persia. Imam Muhammad bin Hasan
sangat mendukung niat Imam Syafi’i tersebut, dan ia membekali muridnya tersebut
berupa uang sebanyak 3000 dirham. Imam Syafi’i melakukan perjalanan (rihlah)
menuju Persia, Rum atau Anathul, Hirah dan Palestina. Di negerinegeri itu, Imam
Syafi’i menambah ilmu pengetahuan dari para ulama yang ada di negeri-negeri
tersebut. Mengingat ada hubungan yang sangat erat antara latar belakang ilmu
seseorang dengan pendapat-pendapat yang dikemukakannya, maka ada beberapa ilmu
yang dianggap sebagai keahlian Imam Syafi’i. Imam Syafi’i adalah ahli dalam
bahasa Arab, ilmu hadis, ilmu tafsir,ilmu fikih, ilmu sejarah, ilmu kalam, dan
ilmu lainnya seperti ilmu kesehatan dan firasat.
2.
Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempelajari fiqih dan
hadis dari para guru yang tempat tinggal mereka saling berjauhan dan guru-guru
tersebut juga mempunyai metode keilmuan yang berbeda. Sebagaian diantara mereka
yang menjadi guru Imam Syafi’i ada yang menganut aliran Mu’tazilah dan termasuk
orang-orang yang menggeluti ilmu kalam. Keberadaan guru yang beraliran
Muktazilah tidaklah menghalangi Imam Syafi’i untuk mengambil sisi kebaikan yang
ada dalam diri guru tersebut.
Imam Syafi’i memperoleh pelajaran
dari guru-gurunya di Mekkah, Madinah, Yaman dan guru-gurunya di Irak.
Fakhrurrazai menyebutkan nama-nama sebagian gurunya. Ketahuilah Imam Syafi’i
banyak sekali mempunyai guru. Diantara guru-guru yang dikenal adalah Sembilan
Belas orang, lima orang di Mekkah, enam orang di Madinah, empat orang di Yaman
dan empat orang di Irak. Guru-guru Imam Syafi’i di Mekkah Sufyan bin Uyainah,
Muslim bin Khalid al Zanji, Said bin Salim al Qaddah, Daud binAbdurrahman al
Athar dan Abdul Hamid Ibnu Abdul Aziz bin Abi Rawad. Guru-gurunya di Madinah
adalah Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al Anshari, Abdul Aziz bin
Muhammad ad Darwardi, Ibrahim bin Abi Yahya al Asami, Muhammad bin Abi Fudaik,
dan Abdullah bin Nafi’ ash Shaigh, Sahabat Ibnu Abi Dzuaib.
Guru-guru yang berasal dari Yaman
adalah Muthraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf seorang Qadhi kota Shan’a, Umar bin
Abi Salamah sahabat al Auza’i dan Yahya bin Hasan sahabat al Laits bin Sa’ad.
Kemudian guru-guru Imam Syafi’i yang berasal dari Iraq adalah Waqi’ bin al
Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah, keduanya orang Kufah, Ismail bin Aliyah
dan Abdul Wahab bin Abdul Majid; keduanya orang Basrah. Imam Syafi’i juga
menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan, mendengar pembacaan kitab-kitab karya
Imam Muhammad bin al Hasan secara langsung.
Imam Syafi’i juga meriwayatkan
hadishadis dari Imam Muhammad bin al Hasan dan mempelajari fikih masyarakat
Irak langsung dari Imam Muhammad bin al Hasan. Dengan demikian, Imam Muhammad
bin al Hasan termasuk salah seorang ulama yang menjadi guru dari Imam Syafi’i.
Dari pembicaraan di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa Imam Syafi’i telah mempelajari ilmu dari sejumlah guru
besar yang mempunyai aliran mazhab yang bermacam-macam. Imam Syafi’i telah
mempelajari fikih-fikih beraneka ragam yang ada pada zamannya. Ia mempelajari
fikih dari Imam Malik bin Anas, mempelajari fikih al Auza’i dari sahabatnya
Umar bin Abi Salamah, mempelajari fikih al Laits bin Sa’ad dari sahabatnya
Yahya bin Hasan dan mempelajari fikih Imam Abu Hanifah dari Imam Muhammad bin
Hasan.
Dengan demikian, Imam Syafi’i telah
mempelajari mazhab Maliki, mazhab al Auza’i, mazhab al Laits dan Mazhab Abu
Hanifah. Semua ini masih tergolong mazhab ahlusunnah wal jama’ah. Imam Syafi’i
juga mempelajari mazhab Syi’ah. Imam Syafi’i pernah berguru kepada Muqatil bin
Sulaiman. Muqatil bin Sulaiman adalah ahli tafsir penganut mazhab Syiah
Zaidiyah. Imam Syafi’i tetap mempelajari karya-karyanya.
3.
Murid
Murid Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai banyak murid
yang selalu setia menimba ilmu dari beliau pada ketiga fase kehidupan intlektualnya.
Baik pada saat di Mekkah, menetap di Kota Baghdad pada kunjungan keduanya,
maupun ketika di Mesir. Diantara muridmurid beliau di Mekkah adalah Abu Bakar
al Humaidi. Beliau adalah seorang ulama fikih sekaligus ulama hadis yang
tsiqqah dan hafizh dalam ilmu hadis. Al Humaidi wafat 219 H di kota Mekkah.
Beliau ikut melakukan perjalanan bersama Imam Syafi’i menuju kota Mesir,
kemudian kembali ke Mekkah setelah wafatnya Imam Syafi’i. Abu Ishaq Ibrahim bin
Muhammad al Abbasi bin Usman bin Sayfi al Muthallibi. Beliau adalah ulama hadis
sampai derajat al Hafiz. Beliau tidak ada meriayatkan dari Imam syafi’i yang
berkenaan dengan fikih. Selanjutnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Idris dan Abu
al Walid Musa bin Abu al Jarud.
Sedangkan murid Imam Syafi’i di
Baghdad adalah Abu alHasan as Shabbah al-Za’farany, Abu Ali al Husaini bin Ali
al Karabisi, Abu Tsaur al Kalbi, Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad bin Yahya
al Asy’ary al Bashry, dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaihi.
Murid-murid Imam Syafi’i yang berasal
dari Mesir adalah Harmalah bin Yahya bin Harmalah, Abu Ya’qub bin Yahya al
Buathi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzni, Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Hakam, ar Rabi bin Sulaiman bin Daud al Jizi, ar Rabi’ bin Sulaiman al Muradi.
Berdasarkan tempat, Imam Syafi’i
menuntut ilmu dan tempatnya mengabdi sebagai guru dan pemerintahan, maka
wajarlah pengaruh mazhab Syafi’i ada di Mekkah, Baghdad, Mesir dan Yaman. Semua
murid ini menebar ke sejumlah negara, hingga Asia Tenggara yang mayoritas muslim
penganut mazhab Syafi’i.
4.
Metode
Imam Syafi’i
Berbicara mengenai metode yang
ditempuh Imam Syafi’i, maka dapat dirujuk kepada dua masalah, yaitu metode
belajar mengajar dalam pendidikan dan metode dalam menggali (mengistinbath)
hukum.
Metode pendidikan yang dipraktekkan
dan ditempuh oleh Imam Syafi’i dapat dipelajari melalui sejarah hidupnya ketika
menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ada beberapa metode yang ditempuh oleh Imam
Syafi’i ketika menuntut dan mengajarkan ilmu. Hal itu bisa dianalisa sebagai
berikut:
A. Metode
langsung (mutalaqy)
Di awal pendidikan Imam Syafi’i, ia
belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Dalam usia 7 tahun, ia telah mampu
menghafal al-Qur’an. Ia mempelajari baca al-Qur’an dengan rangkaian sanad
lengkap kepada Isma’il Qastantin, seorang guru terkemuka pada masa itu di
Mekkah pada waktu itu; dari Syibl ibn Abbad dan Ma’ruf ibn Misykan dari Yahya
Abdullah ibn Katsir dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab dari
Rasulullah. Kemudian Imam Syafi’i belajar sastra Arab langsung dari penutur
asli, yaitu Bani Huzail. Dengan demikian, Imam Syafi’i belajar langsung dari
ahlinya dan penuturnya.
Dalam belajar Al-Qur’an harus
didengar dan dilafalkan, demikian juga dalam berbahasa. Karena bahasa adalah
budaya, maka bahasa harus dipelajari kepada pemilik budaya itu sendiri.
Disamping belajar secara langsung, ketika mengajar pun, Imam Syafi’i berjumpa
langsung dengan muridnya. Ia mendiktekan (imla’) pelajaran-pelajaran di depan
murid, dan murid mendikte apa yang disampaikan oleh gurunya. Hal ini terlihat
dalam kitab al Umm, dengan lafal Imam mendiktekan kepada kami.
B. Metode
rihlah (pengembaraan)
Dalam menuntut ilmu, Imam Syafi’i
tidak hanya puas apabila ia belajar kepada seorang guru dan hanya pada satu
tempat saja. Dalam masalah rihlah untuk menuntut ilmu, Imam Syafi’i
mengungkapkan sebagai berikut:
v Adalah
tidak enak bagi orang cerdik pandai untuk tinggal tetap di suatu tempat. Oleh
karena itu, tinggalkanlah tanah airmu dan mengembaralah !
v Musafirlah,
engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang
ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah bekerja keras.
v Saya
berpendapat bahwa air kalau tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Kalau ia
mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor.
v Singa
kalau tidak keluar dari sarangnya, ia tidak akan makan. Anak panah kalau tidak
meluncur dari busurnya, ia tidak akan mengena.
v Matahari
pun kalau tetap niscaya seluruh manusia akan marah kepadanya.
v Tibir(bahan
baku emas) adalah seperti tanah saja ketika ia masih tergelatak di tempatnya.
Kayu harum pada ketika di rimba, sama saja dengan kayu yang lain.
v Kalau
yang ini (kayu harum) keluar dari rimba, sukar sekali mendapatkannya, dan itu (
tabir) kalau keluar dari tempat sudah berharga seperti emas.[33]
C. Metode
Mushâhabah
Metode mushâhabah adalah metode
bersahabat antara guru dan murid. Murid tinggal bersama dengan guru sehingga
murid mengerti betul tentang kehidupan gurunya. Ia mendapatkan ilmu tidak hanya
pada halaqah atau kelas guru, tetapi juga dalam kehidupan seharian. Imam
Syafi’i tinggal bersama gurunya Imam Malik sekitar 7 tahun, dan bersama Imam
Muhammad bin Hasan selama lebih setahun. Dalam metode mushabah ini, guru bisa
menyampaikan ilmu melalui tingkah laku guru ( uswatun), dan murid akan bebas
bertanya, sehingga ilmu yang diperoleh menjadi utuh.
D. Metode
muzâkarah, mubâhatsah dan munâqasyah
Dalam belajar, Imam Syafi’i dan
gurunya menempuh metode muzâkarah (saling membahas dengan mengingatkan hal-hal
yang tidak diketahui murid), mubâhatsah (dengan cara saling membahas dan
memberi argumentasi) dan munâqasyah (saling mengkritik untuk analisa). Semua
metode ini dilakukan oleh Imam Syafi’i bersama gurunya dan ia lakukan terhadap
muridnya. Ketika Imam Syafi’i menjadi murid Imam Muhammad bin Hasan, mereka
sering melakukan mubâhatsah, muzâkarah, dan munâqasyah, demikian juga setelah
Imam Syafi’i kembali dari Baghdad, ia sering ber-mubahasah dengan Imam Malik.
E.
Metode
Training (tadrîb)
Metode latihan
sangat sering dilakukan Imam Syafi’i dan gurunya ketika belajar. Ketika Imam
Syafi’i berusia 15 Tahun, ia sudah belajar berfatwa di depan gurunya Muslim bin
Khalid az Zanjy.23 Ketika ia berguru dengan Imam Malik, ia juga ditugaskan
untuk mendiktekan kitab al Muwattha’ kepada murid Imam Malik, seperti Muhammad
bin Abdul Hakam.
5. Karya Imam Syafi’i
Sedangkan karya beliau dalam bentuk
kitab adalah Kitab arRisâlah dan Kitab al-‘Umm. Kedua kitab ini adalah karya
Imam Syafi’i yang sangat spektakuler. Kitab ar-Risâlah adalah kitab yang
pertama diakui sebagai kitab Ushul Fiqh. Oleh karena itu, dapat diakui bahwa
Imam Syafi’i adalah Imam Pertama yang pernah menyusun kitab dalam bidang
disiplin ilmu Ushul Fiqh. Sedangkan Kitab al-Umm adalah kitab yang berisi
tentag fikih secara sistematis.
Kitab ar-Risâlah ini berisi ilmu
Ushul Fiqh. Menurut riwayat kitab ini dikarang pada masih usia muda. Sebabnya
beliau mengarang kitab ini adalah karena diminta oleh Abdurrahman bin Mahdy,
seorang Imam ahli hadis yang terkemuka di masanya, bahwa beliau supaya
merencanakan sebuah karangan kitab yang membicarakan Ushul Fiqh. Dengan
permintaan ini, lalu beliau mengarang kitab ar Risalah. Dalam kitab inilah Imam
Syafi’i mengarang dengan jelas tentang cara-cara orang ber-istinbâth hukum dari
al-Qur’an dan Hadis, dan cara-cara orang ber-istidlâl dengan Ijma dan Qiyas.
Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al Murady. Kitab ini
hingga kini masih dapat diketahui dan dipelajari isinya, karena masih tersiar
di seluruh dunia Islam. Bagi para ulama yang hendak mengetahui ilmu ushul fiqh
Imam Syafi’i cukuplah mempelajari kitab ar-Risâlah.
Kitab al-‘Umm adalah satu-satunya
kitab besar yang direncanakan dan disusun Imam Syafi’i yang berisi
pendapatpendapat hukum Islam menurut Imam Syafi’i. kitab ini disusun oleh Imam
Syafi’i dan dibantu oleh para murid-muridnya.
Menurut K.H. Moenawar Chalil, cetakan
yang paling baru dari kitab al-‘Umm menjadi 7 jilid besar serta tebal atas
biaya al Marhum Ahmad Bek al Husaini di Mesir. Dalam kitab al-‘Umm cetakan baru
ini termasuk juga kitab-kitab karangan Imam Syafi’i yang lain, seperti;
v Kitab
Jami’ul Ilmi. Kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’i terhadap Sunnah Nabi SAW.
v Kitab
Ibthalul Istihsan, kitab ini berisi tangkisan Imam Syafi’i kepada para ulama
ahli Iraq (Baghdad), yang mereka itu sebagian suka mengambil hukum dengan cara
istihsan.
v Kitab
ar Raddu ala Muhammad Ibnu Hasan, kitab ini pertahanan Imam Syafi’i terhadap
serangan Imam Muhammad bin Hasan kepada para Ahli Madinah.
v Kitab
Siyarul Ausa’iy, kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’i terhada Imam Ausya’i.
beliau ini seorang alim besar ahli hadis dan termasuk Imam Besar di masa
sebelum Imam Syafi’i dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 88 H dan wafat
pada tahun 150 H.
Disamping
kitab al-‘Umm, Imam Syafi’i juga menulis kitab Ikhtilaf al-Hadits. Kitab ini
satu-satunya kitab yang disusun oleh Imam Syafi’i dimana isinya keterangan dan
penjelasan beliau tentang perselisihan hadis-hadis Nabi SAW. Kitab al Musnad
Imam Syafi’i adalah kitab yang berisi sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam
meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang beliau himpun dalam kitab al-‘Umm.
Di
dalam kitabnya tersebut terdapat istilah qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim
dan qaul jadid adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dibedakan atas
wilayah tempat dikeluarkannya suatu fatwa. Qaul qadim adalah fatwa yang ada di
Baghdad, dan qaul jadid fatwa setelah di Mesir. Perubahan dari qaul qadim ke
qaul jadid dapat terjadi karena menurut Imam Syafi’i setiap kasus menuntut
ijtihad tersendiri, dan fatwa harus senantiasa baru sesuai dengan hasil ijtihad
terakhir, tidak terikat dengan fatwa terdahulu. Perubahan fatwa dari qaul qadim
ke qaul jadid sangat terkait dengan perubahan dalil atau cara pandang yang
digunakan dalam setiap ijtihadnya. Akan tetapi, kegiatan ijtihadnya tidak lepas
dari pengaruh kondisi sosial, budaya, ekonomi dan perbedaan geografis dan
sebagainya sebab perkembangan atau perbedaan pada aspekaspek tersebut selalu
melahirkan lapangan ijtihad baru.
Dr.
Lahmuddin Nasution memberikan sepuluh contoh masalah perbedaan qaul qadim dan
qaul jadid. Diantaranya adalah air musta’mal, zakat zaitun, mengganti puasa
untuk mayyit dan penyaksian rujuk. Menurut qaul qadim air musta’mal tetap suci
dan mensucikan, sedangkan menurut qaul jadid air musta’mal tetap suci tetapi
tidak mensucikan. Pada qaul qadim, zaitun wajib dizakati sedangkan dalam qaul
jadid zaitun tidak wajib zakat. Puasa untuk mayyit dalam qaul qadim orang yang
tidak berpuasa dengan sengaja pada waktu hidupnya dan ia meninggal, maka
puasanya dapat digantikan oleh walinya, sedangkan menurut qaul jadid, puasanya
tidak bisa diganti, tapi yang bisa adalah kaffarah dari hartanya. Dan masih
banyak lagi contoh yang lain.
6. Karakter Imam Syafi’i Sebagai Ilmuan Klasik
Imam
Syafi’i memiliki kepribadian ilmiah yang tinggi yang menyertainya sepanjang
hidupnya, sejak masa kecilnya dan terus menemaninya hingga meninggal di Mesir
pada tahun 204 H, ketika berusia 54 tahun.Ada beberapa karakter personal Imam
Syafi’i sebagai ilmuan yang sangat positif.
Diantara karakter
tersebut yang dapat disimpulkan adalah:
v Sebagai ilmuan Imam Syafi’i gigih, tabah dan sabar dalam
menuntut ilmu dan giat beribadah.
Imam Syafi’i adalah orang yang sangat
giat dan gigih menuntut ilmu. Hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk
menuntut ilmu. Imam Syafi’i dilahirkan pada keluarga yang kurang mampu,
sehingga ia tidak bisa memenuhi dirinya untuk keperluan belajar. Inilah yang
menuntut Imam Syafi’i untuk bekerja keras menghafal hadis atau
pelajaran-pelajaran yang disampaikan gurunya. Ia tidak mampu membeli kertas
untuk mencatat pelajaran, sehingga ia harus mengahafal semua pelajaran, karena
rumahnya sudah dipenuhi oleh kertas, pelepah kurma dan sebagainya.
Disamping gigih untuk menuntut ilmu,
Imam Syafi’i juga gigih dalam mengajar dan menebarkan ilmu. Ia selalu bangun
tengah malam dan berfikir serta menulis. Pernah suatu riwayat menjelaskan bahwa
anak Muhammad bin Abdul Hakam mengintip Imam Syafi’i yang sedang menumpang
tidur di rumahnya. Orang tuanya selalu menceritakan kerajinan Imam Syafi’i
beribadah. Pada suatu malam ia mengintip Imam Syafi’i sedang tidur dan tidak
shalat malam dan belajar. Maka hal ini disampaikannya kepada ayahnya bahwa Imam
Syafi’i tidak shalat malam dan tidak belajar. Pagi harinya Imam Syafi’i
berdialog dengan ayahnya tentang masalah-masalah hukum. Imam Syafi’i
mengungkapkan bahwa telah menyelesaikan beberapa masalah hukum tadi malam.
Begitulah Imam Syafi’i yang selalu belajar dan berfikir. Pembantu Imam Syafi’i
juga menjelaskan bahwa Imam Syafi’i selalu menulis di tengah malam, maka
pembantunya bertugas untuk selalu menghidupkan lampu. Pekerjaan ini selalu
dilakukan oleh pembantunya hingga ia merasa capek. Imam Syafi’i sangat gemar
menulis. Disamping itu, Imam Syafi’ tidak puas hanya belajar kepada satu guru
pada satu tempat saja. Ia selalu mencari ilmu walaupun harus keluar dari
negerinya. Ia belajar ke Madinah, Baghdad dan Kufah, Yaman dan Mesir. Ini
dilakukan dengan penuh ketabahan dan kesabaran, karena ia bukanlah orang yang
tergolong mampu secara ekonomi.
v Sebagi ilmuan, Imam Syafi’i tidak tamak terhadap harta
Disamping beliau gigih menuntut ilmu,
Imam Syafi’i juga orang yang sabar dalam menuntut ilmu. Ia rela menghabiskan
waktunya bersama Imam Malik selama tujuh tahun. Ia tidak hanya belajar, tetapi
juga bergaul dengan Imam Malik serta membantunya dalam belajar, mengajar dan
hidup dalam rumah tangga sang guru. Pekerjaaannya hanya sebagai murid dan guru
mulai kecil kecuali sekitar satu tahun ketika di Yaman. Ia pernah bekerja pada
pemerintahan karena desakan ekonomi setelah gurunya Imam Malik meninggal dunia.
Setelah ia menjadi guru, maka ia
banyak mendapatkan harta. Karena ia seorang dermawan, ia selalu menafkahkan
harta yang diperolehnya. Ia tidak terkenal meninggalkan harta warisan yang
banyak. Ketika ia bertugas di pemerintahan Yaman, ia pernah menerima uang
sebanyak 10.000 dirham. Uang ini dibagikan kepada masyarakat di luar kota oleh
Imam Syafi’i. Ia tidak pelit dan sangat dermawan. Banyak cerita tentang
kedermawanannya.
v Sebagi ilmuan, Imam Syafi’i tidak tamak terhadap jabatan
Sebagai seorang yang pintar, cerdas
dan berwibawa, Imam Syafi’i pernah ditawarkan menjadi seorang qadhi di Yaman.
Ia tidak menerima tawaran tersebut, pada hal tawaran itu adalah sangat
bergengsi ketika itu. Gurunya Waqi menganggap ia pantas dan layak untuk menjadi
qadhi, tetapi tawaran khalifah Harun al Rasyid tersebut ditolaknya.
v Sebagi ilmuan, Imam Syafi’i terbuka dalam berdialog
Dalam bidang ilmu, Imam Syafi’i
sangat terbuka. Ia mendengarkan pendapat muridnya, dan bersedia menjawab
pertanyaan. Hal ini terlihat ketika ber-muhasabah, ber-muzakarah dan mengambil
keputusan. Salah satu contohnya adalah masalah qaul qadim dan qaul jadid.
Perubahan pendapat Imam Syafi’i ini bukan karena ketidakmampuannya atau
ketidakkonsistenannya dalam ilmu. Itu adalah karena keterbukaan ilmu untuk
dikoreksi dan penerimaan pendapat lain.
v Sebagai ilmuan Imam Syafi’i siap mengkader muridnya.
Imam Syafi’i tidak hanya mengajarkan
ilmu kepada muridmuridnya, tetapi ia juga melatih dan membimbing muridnya untuk
mencari ilmu dan berfatwa. Diantara muridnya yang berhasil dikader untuk
menjadi ulama adalah Za’faran, al Karabisi, al Muradi. Mereka ini adalah hasil
kader Imam Syafi’i di Baghdad. Sedangkan di Mesir diantaranya adalah al Muzany,
al Buwaithi, al Humaidi dan masih banyak lagi yang lain.
v Sebagai ilmuan Imam Syafi’i penuh pendirian (istiqamah) dalam
berpendapat dan taat pada metodologi.
Imam Syafi’i adalah orang yang teguh
pendirian. Ia tidak mudah terombang ambing dalam menuntut ilmu dan menentukan
keputusan apa saja. Walaupun Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan dua
murid Imam Hanafi pendiri Mazhab Maliki dan Hanafi, ia tetap mempunyai
pendirian. Ia berani mengkritik pendapat gurunya yang menurutnya tidak
beralasan walaupun kadangkala pendapatnya dibantah oleh murid para imam
tersebut. Ia bukanlah orang yang suka bertaqlid. Ini terlihat pada karyanya
yang menolak istihsan mazhab Hanafi dan menolak Ijma Ahli Madinah mazhab
Maliki. Untuk lebih jelasnya baca Karya Muhammad Abu Zahrah tentang Imam
Syafi’i.
v Suka bersahabat dengan orang berilmu
Dalam perjalanan hidup Imam Syafi’i,
ia selalu bersahabat dsengan orang yang menuntut dan mengajarkan ilmu. Dia
tidak mepunyai kesibukan selain belajar dan mengajar kecuali ketika ia di
Yaman. Di Yaman ia belajar mengajar dan juga bekerja pada pemerintahan.
v Teliti dalam menerima dan menggunakan riwayat
Imam Syafi’i adalah seorang ilmuwan
Islam yang berpegang teguh kepada Sunnah, sehingga beliau diberi gelar pembela
hadis atau pembela sunnah (nashiru sunnah). Diantara ungkapanungkapannnya yang
begitu membela hadis adalah misal orang yang menuntut ilmu pengetahuan dengan
tidak alasan dari Nabi (hadis) itu, seperti orang-orang buta pada malam hari,
ia membawa seberkas kayu dan di dalamnya ada seekor ular yang berbisa yang akan
memagutnya, padahal ia tidak tahu. Walaupun Imam Syafi’i sangat berpegang teguh
kepada Hadis, ia tetap hati-hati dalam menerima dan menggunakan Hadis sehingga
ia selalu meneliti kebenaran Hadis tersebut. Bahkan Imam Syafi’i tidak serta
merta menggunakan dan mengamalkan Hadis sahih ia tetap menelitinya apakah ada
nasikh dan mansukh.
v Suka melakukan muzakarah, mubahasah dan munaqasyah
Disamping gigih dalam menuntut ilmu,
Imam Syafi’i juga adalah orang yang sangat suka berdiskusi. Dalam menuntut dan
mengajarkan ilmu ia suka bertanya dan juga menjawab pertanyaan. Ia sangat
longgar dan toleran, ia adalah lautan ilmu yang dasarnya sangat dalam dan
tepinya sangat luas. Ia memiliki ilmu-ilmu din dari Al-Qur’an, hadis, fiqih dan
ilmu bahasa.
v Rendah hati dalam menuntut serta mengajarkan ilmu
Rendah hati Imam Syafi’i dalam
menuntut ilmu dan mengajarkannya terbukti ketika ia mengoreksi pendapatnya
ketika ia mendapatkan ilmu baru. Ia tidak memaksakan pendapat dalam satu hal
hukum.
D. Mahdzab
Imam Malik
Ø BIOGRAFI IMAM MALIK
Nama lengkap beliau adalah Malik Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arabiy
al-Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari
Kabilah al-Yamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H / 789 M. (712 M) di Kota
Madinah dan meninggal tahun 179 H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama
Malik, yang datang ke Madinah setelah Rasulullah saw Wafat. Sedang kakeknya
termasuk golongan “Tabi’in”, yang banyak meriwayatkan al-Hadits dari Umar bin
Khatab, ‘Utsman Bin ‘Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh
sebagai sosok Ulama’ terkemuka dalam bidang ilmu Hadits dan Fiqh. Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah
ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga adalah
Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.
Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu
dalam bidang material, tetapi sangat taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan
benar-benar cinta terhadap ilmu agama Islam, khususnya bidang al-Hadits,
sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan al-Hadist banyak
diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan sebutan Abu Suhail
(salah satu guru Imam al-Zuhri).
Pada masa itu, kota Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan
agama, kerana banyak para Tabi’in yang menerima ilmu tersebut dari para sahabat
Nabi, sehingga banyak sekali para ulama’ yang berasal dari luar daerah
berdatangan kesana untuk bertukar pikiran dengan para ulama’ Madinah, di
samping menuntut ilmu.
Ø POLA PIKIR DAN METODE
ISTINBATH IMAM MALIK
Imam Malik adalah
seorang Imam Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena
ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai
ulama kenamaan dalam bidang Ilmu al-Hadits dan fiqh.
Karena merasa memiliki
kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain
yang membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah
kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist,
bahkan tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab
susunannya telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy
menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab
Allah dimuka bumi ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik.
Namun demikian, beliau
sering mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari
penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan
dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau
mendapat siksaan berat dan dihukum penjara.
Imam Malik termasuk
salah satu ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau
sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya,
misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak
mengatakan sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau
membacakan al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya:
“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”.
Sedang dalam masalah
hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan
diambilnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan
bahwa “Aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama
70 orang Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan
fatwanya.
Ø METODE
ISTINBATH HUKUM IMAM MALIK
Dengan
melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam menetapkan hukum
Islam, selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an.
Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik
menempatkan Al-Quran sebagai sumber hokum paling utama dan memanfaatkannya
tanpa memberikan prasyarat apapun dalam penerapanya.
2.
Al-Sunnah.
Dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola yang
dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an. Artinya: Jika dalil syara’
itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti
ta’wil.
3. Ijma’ Ahl Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian
besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah
sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir
hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat Madinah pasti
diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. Oleh
karenanya Imam Malik menganggap praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk
Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan
kata-kata.
4.
Fatwa sahabat
Ketentuan
hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada Naql.
5.
Qiyas
Imam Malik
pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan
yang tidak tercakup oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian,
ia sangat berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam
bentuk penalaran seperti itu.
6.
Istislah (Mashlahah Mursalah)
Istislah
adalah menegkalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Yang
dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya
dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa
dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan
diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti
menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua,
Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada
orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar
yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.
7.
Al-Istihsan
Menurut
Imam Malik adalah menentukan hokum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian
dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidlalul Mursah
dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan
pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah
secara keseluruhan.
8.
Sadd al-Zara’i
Menutup
jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam
Malik menggunakannya sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua
jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka
sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram.
9.
Syar’u man Qablana
Prinsip
yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip
ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik.
10.
Istishab
Tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang
atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah
ada dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang
keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka
hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.
Ø
KARYA DAN PENGIKUT MADZHAB
MALIKI
Imam Malik memiliki beberapa karya yang ditulis semasa waktu
beliau hidup dan ada pengikut yang setia kepadanya sebagaimana berikut:
1.
Karya Imam
Malik
Penyabaran suatu pemikiran dari seorang tokoh, dapat dilihat
dari adanya dan tidaknya karya yang telah dihasilkan dengan dukugan para murid
dan pendukung yang siap menyebarkan dan mengembangkannya. Sedang diantara karya
Imam Malik terbesar adalah:
A. Kitab “Al-Mudawanah al-kubra”.
B. Kitab “Al-Muwaththo” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran
Khalifah Ja’far al-Manshur.
Dari hasil penelitian jumlah atsar Rasulullah, sahabat dan
tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah. Dan didalam pembahasannya,
ditemukan adanya dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadist. Dan aspek
al-Fiqh.
§ Aspek Al-Hadist
Dalam aspek ini, lebih disebabkan karena al-Muwatho’ banyak
sekali yang mengandung al-Hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat
maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari sejumlah orang yang jumlahnya
,encapai 95 orang yang berasal dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah
al-Hadist yang diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua
buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah,
Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, Ibrahim bin Abi Ablah dari Syam. Atho’ bin
Abdullah dari Khurasan dan Abdul Karim dari Jazirah Arab.
Adapun orang-orang yang meriwayatkan al-Hadist kepada Imam Malik
tersebut, ada yang berjumlah besar, seperti ibnu shihab al-Zuhry, Nafi’ dan
Yahya ibn Sa’ad. Sedang mereka itu kebanyakan para sahabat yang sudah lama
berdomisili di Madinah.
Sedangkan sanad yang ada didalam kitab Muwatho’ itu, ada yang
lengkap yang Mursal, Muttashil dan yang Muqathi’, bahkan ada yang disebut
dengan istilah “Bataghat” yaitu
sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerimanya.
Dalam pengumpulannya, Imam Malik melakukan penyeleksian yang
sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu yang relatif lama dalam
mewujudkan sebuah karya besar, bahkan ada yang menyatakan telah mengumpulkan
sebanyak 4.000 buah al-Hadist, yang ketika beliau wafat jumlahnya tinggal 1.000
saja, sebab setiap tahunnya hadist-hadist tersebut diusahakan agar lebih
sesuaiuntuk kaum muslimin dan man yang lebih mendekati kebenaran. Dalam keadaan
seperti itulah, maka kedudukan Kitab Muwatho’ dikalangan Muhadditsin setelah
dilakukan penelitian, memiliki kedudukan bahwa kedudukan kitab-kitab al-Hadist
yang disusun oleh Imam Bukhari-Muslim.
§ Aspek Fiqh
Adapun yang dimaksutkan dengan istilah aspek “Fiqh” adalah
karena kitab al-Muwatha’ ini disusun berdasarkan sistematika bab-bab pembahasan
kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat, Zakat, Shiam, Nikah dan
seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa fasal, seperti dalam bab
Shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jama’ah, shalat safar dan seterusnya,
sehingga hadist-hadist yang ada dalam kitab al-Muwatha’ ini serupa dengan
kitab-kitab fiqh.
Dengan begitu, kitab-kitab karya Ulama’ bermadzhab Maliki itu
adalah sebagai berikut:
A. Al-Muwatha’ al-Sughra, Hadist koleksi Imam Malik, karya Imam Malik.
B. Al-Muwatha’ al-Kubra, Kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’adbin
al-Furat al-Naisaburi.
C. Al- Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan ibn
al-Qasim, oleh As’ad Bin Firat Naisabury.
D. Al-Asadiyah, hasil revisi Shanuun dari kitab al-Mudawwanah karya
As’ad, oleh Shanuun menurut Madzhab Imam Malik.
2.
Murid Imam
Malik
Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik
adalah murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri, Di
antara murid-muridnya adalah:
·
Abu
Abdurrahman bin Qasim ( 745-813 M ). Beliau lahir di Mesir namun ia pindah ke
Madinah dan menimba ilmu dengan Imam Malik selama lebih 20 tahun, Imam Qasim
menulis sebuah buku yang mendalam tentang fiqh Madzhab yang berjudul
Al-Mudawwanah, yang bahkan melampaui Al-Muwatta’ karya Imam Malik sendiri.
·
Abu
Abdullah bin Wahab ( 742-819 M ). Ibn Wahab juga dari Mesir ia pindah ke
Madinah untuk belajar kepada Imam malik, Ibn Wahab mempunyai keahlian
mendiskusikan hokum hingga mencapai kemampuan tertentuy yang gurunya sendiri kemudian
memberikan julukan Al-Mufti, yang berarti pengurai hukum Islam.
·
Asyhab bin
Abul Aziz
·
Asad Bin
Al-Furat
·
Abdul Malik
Bin Al-Masjisun
·
Abdullah
Bin Abdul Hakim
3.
Pengikut
Imam Malik
Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di
daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara ( Tunisia, Aljazair dan Maroko ) Afrika Barat
( Mali, Nigeria, Chad,) dan Negara-negara Arab ( Kuwait, Qatar, Bahrain ).
Ø
PERKEMBANGAN MADZHAB MALIKI
Pada awalnya, madzhab Imam Malik timbul dan berkembang di kota
Madianah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus tempat domisi Imam Malik,
kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun di Mesir sempat
mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzhab Syafi’i. Sekalipun demikian
pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai pengikut madzhab
Maliki, mengalami kemajuan kembali.
Selanjutnya, dimasa pemerintahan dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia.
Selanjutnya, dimasa pemerintahan dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia.
Adapun para sahabat dan murid Imam Malik yang sangat berjasa
dalam mengembangkan madzhabnya adalah:
1.
Di Mesir,
antara lain:
-
Abu Hasan
Ali bin Ziayad al-Thusiy (w.183 H) sebagai pakar hukum Islam di Afrika.
-
Abu
Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Quthubiy (w. 193 H), pembuka Madzhab Maliki
di Andalusia.
-
Isa bin
Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (w. 212 H) pakar hokum Islam di Andalusiy.
-
Asad bin
al-Furat bin Sinan al-Tunisy (145-213 H).
-
Yahya bin
yahya bin Kathir al-Laithiy (w. 234 H), penyeber Madzhab Maliki di Andalusi.
-
Abul Malik
bin Hubaib bin Sulaiman al-Sulami (w. 238 H).
-
Sahnun
Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi, (w. 240 H), penyusun kitab pegangan para
ulama’ Madzhab Maliki.
2.
Di Hijaz
dan Irak, diantaranya adalah:
-
Abu Marwan
Abadul Malik bin Abiu Salamah al-Majishun (w.212 H).
-
Ahamad bin
Mu’adl-dlal bin Ghailan al-‘Abdiy.
-
Abu Ishak
Isma’il bin Ishak (w.282 H).
Sedang para pengikut diadab ke-lima dan ke-enam hijriyyah
diantaranya adalah Abdul Wahid al-baji, Abdul Hasan, Al-Lakhamiy, Ibnu Rusyd
al-Kabir, Ibnu-Rusyd al-Hafidh dan Ibnu al-‘Araiy, kemudian disusul dengan
adanya Abu Qasim al-Jizziy (w 741 H) pengarang kitab “ al-Qawanin al-Fiqhiyyah
Fi Talkhishi Madzhabi al-Malikiy” dan Sayyid Khalil (w 11 767 H) dan al-Adawiy
(1189 H) dan masih banyak yang lain, diantaranya adalah ‘Utsman bin al-Hakam
al-Juzami, Abdurrahman Ibn Khalid Ibn Yazid Ibn Yahya, Abdurrahman ibn
al-Qasim, Asyhab ibn Abdul’Aziz, Ibn Abdul Hakam, Haris ibn Miskin dan
orang-orang yang semasa dengan mereka.
Oleh sebab itulah, maka dalam perkembangan selanjutnya Madzhab
Maliki sebagaimana keterangan diatas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di
Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia, yang
pada umumnya gaya hidup mereka tidak semaju gaya hidup orang-orang di Irak ,
sehingga gaya hidup mereka jika dilihat dari sisi ini akan condong pada gaya
hidup penduduk Hijaz,[8] sekalipun demikian, madzhab Maliki ini sampai sekarang masih
saja tetap menjadi madzhab kaum muslimin hampir di seluruh Negara, bahkan
Madzhab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di
Maroko, Algers, Tunisia, Lybia dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz
dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa
banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai
lima juta pengikut.
v
BalasHapus