Senin, 27 Februari 2017

Mahdzah Fiqih

ALIRAN ALIRAN DALAM FIQIH
1.    Pengertian Madzhab
Kata mazhab berasal dari bahasa Arab yaitu isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânahath-Thalibin, I/12). 

A.     Secara Bahasa
1.    Dalam kamus Al – Munjid fi Al – Lughah wa Al – Alam, dijelaskan bahwa makna madzhab memiliki dua pengertian :
Ø Kata “madzhab” berasal dari kata : dzahaba, yadzhabu, dzhaban, madzhaban yang memiliki arti, telah berjalan, telah berlalu, telah mati.
Ø Madzhab adalah aliran pemikiran atau pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam meng-istinbath-kan hukum islam.
2.    Menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat” .
3.    Mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq).
B.  Secara Istilah
1.      Menurut Said Ramadhany al-Buthy, mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Al-Quran dan hadits.
2.       Menurut K.H.E. Abdurrahman, mazhab dalam  istilah islam berarti pendapat, paham atau aliranseorang alim besar dalam Islam yang digelari Imam seperti Imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ibn Hanbal, mazhab Imam syafi’i mazhab Imam Maliki, dan lain-lain.
3.       Menurut A. Hasan, mazhab adalah sejumlah fatwa atau pendapat-pendapat seorang alim besar dalam urusan agama, baik dalam masalah ibadah ataupun lainnya.
4.      Menurut Huzaemah Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah atau mengistinbatkan hukum Islam.
5.    Menurut istlah ushul fiqh
1.      Mazhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang digali darid alil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id ) dan landasan (ushûl ) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Nahrawi, 1994:  08; Abdullah, 1995: 197). 
2.      Menurut Muhammad Husain Abdullah (1995:197),istilah mazhab mencakup dua hal: 
Ø Sekumpulan hukum-hukum Islam yang digali seorang imam mujtahid; 
Ø Ushul fikih yang menjadi jalan(tharîq) yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci
3.      Wahbah Az – Zuhaili, memberi batasan “madzhab” sebagai segala hukum yang mengandung berbagai masalah, baik dilihat dari aspek metode yang mengantarkan pada kehidupan secara keseluruhan maupun aspek hukumnya sebagai pedoman hidup.
4.      Muslim Ibrahim, memberikan definisi “madzhab” dapat dipahami sebagai aliran pikiran yang merupakan hasil ijtihad seorang mujtahid tentang hukum dalam islam yang digali dari ayat Al – Qur’an atau Al – Hadits yang dapat diijtihadkan.
5.      Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan dua unsur mazhab inidengan berkata, “Setiap mazhab dari berbagai mazhab yang ada mempunyai metode penggalian (tharîqah alistinbâth) dan pendapat tertentu dalamhukum-hukum syariat.” (Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/395)

2.    Macam-macam Madzhab
 Huzaemah Tahido Yanggo mengelompokkan mazhab-mazhab fiqih sebagai berikut :
A.  Sunni/Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
Adalah kumpulan dari orang-orang yang menganut sunnah Nabi Muhammad SAW seperti yang sudah dilakukan oleh kelompok para sahabat di masa lalu.
Ø Ahl Al-Ra’yu
Yang sifatnya membatasi diri dengan sekedar yang ada di dalam nash. Kelompok ini dikenal pula dengan Madzhab Hanafi.
Ø Ahl Al-Hadist
Yang sifatnya menyelami keadaan masyarakat dan meneliti illat-illat hukum. Madzhab-madzhab terdiri atas:
a.       Madzhab Maliki
b.      Madzhab Syafi’i
c.       Mazhab Hambali
B.  Syi’ah
Syi’ah berarti pembela. Yakni pembela keluarga atau Ahli Bait Nabi Muhammad.
Ini mengacu pada sekelompok orang yang menjadikan dirinya selaku pembela para keluarga Nabi Muhammad dari dinasti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atas kezaliman dinasti Muawiyah.
Madzhab-madzhab terdiri atas:
Ø Syi’ah Ja’fari
Ø Syi’ah Zaidiyah
Ø Syi’ah Imamiyah

C.  Khawarij
Yakni kelompok pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan Ali karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima perdamaian dalam perang shiffin pada tahun 37 H/648M dengan kelompok Muawiyah bin Abu Sofyan. Kelompok ini dikenal pula dengan Madzhab Khawarij

D.  Madzhab-madzhab yang telah musnah
Ø  Madzhab Al-Auza’i
Ø  Madzhab Al-Zhahiry
Ø  Madzhab Al-Thabary
Ø  Madzhab Al-Laitsi

3.    Pembahasan Lengkap
A.  Mahdzab Hanafi
Ø BIOGRAFI
Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi Thalib, bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari keturunannya muncul Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/ 699M dan wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M. Beliau ini berasal dari keturunan Persia, yang menjalani hidup didua masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda, yaitu masa akhir kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan abbasiyyah.[1]
Beliau dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah” , sebab dalam kebiasaan bangsa Arab, nama putra (yaitu Hanifah) dijadikan sebagai sebuah nama panggilan bagi ayahnya dengan menggunakan kata “Bapak (Abu/Ayah)”, sehingga lebih dikenal dengan sebutan “Abu Hanifah”.
Dalam kaitannya dengan sebutan tersebut, Yusuf Musa berpendapat bahwa sebutan tersebut lebih disebabkan adanya kehidupan kesehariannya yang selalu berteman dengan tinta (dawat) guna menulis dan mencatat semua ilmu pengetahuan yang didapat dari teman-temannya dan kata “Hanifah” dalam bahasa berarti “Tinta”. Karena inilah, beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dalam segala hal, baik belajarnya maupun peribadatannya, sebab kata “hanif” dalam bahasa Arab juga berarti “condong” kepada hal-hal yang benar, sehingga pada masa kedua khalifah, beliau tetap saja tidak menjabat sebagai qadli, karena tidak senang pada kemewahan setelah jabatan itu dipegangnya.[2]
Dalam studinya, pada awalnya Abu Hanifah senang sekali belajar bidang Qira’ah dan tajwid kepada Idris ‘Asham, al-Hadits, Nahwu Sharaf, sastra, sya’ir dan ilmu yang sedang berkembang pada saat itu, diantaranya adalah ilmu-kalam (theologi). Karena ketajamannya dalam memecahkan semua persoalan, beliau sanggup membuat Argumentasi yang dapat menyerang kelompok Khawarij dan doktrinnya yang sangat ekstrim, sehingga beliau menjadi salah satu tokoh theologi Islam.
Pada Abad ke-2 hijriyyah, Imam Abu Hanifah memulai belajar ilmu fiqh di Irak pada Madrasah Kufah, yang dirintis oleh Abdullah bin Mas’ud  (w. 63 H / 682 M) dan beliau berguru selama 18 tahun kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ary, murid dari ‘Alqamah bin Qais dan Ibrahim al-Nukhaiy al-Tabi’iy (al-Qadli Syuriah), kemudian kepemimpinan Madrasah diserahkan kepada Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary dan disinilah Imam Abu Hanifah banyak belajar pada para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Atha’ bin Rabah dan Nafi’ Maula bin Umar. Dari Guru Hammad inilah Imaam Abu Hanifah banyak belajar Fiqh dan al-Hadits.[3]
Untuk mencari tambahan dari apa yang telah didapat di Kuffah, Abu Hanifah beberapa beberapa kali pergi ke Hijaz dan Makkah meskipun tidak begitu lama untuk mendalami Fiqh dan al-Hadits dan tempat ini pulalah beliau dapatbertemudan berdiskusi dalam berbagai bidang ilmu Fiqh dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas ra, sehingga tidak mengherankan jika sepuluh tahun sepeninggal guru besarnya (Hammad bin Abi Sulaiman al-Asy’ary tahun 130 H), Majlis Madrasah Kuffah bersepakat untuk mengangkat beliau Abu Hanifah sebagai Kepala Madrasah dan selama itu beliau mengabdi dan banyak mengeluarkan fatwa-fatwanya dalam bidang fiqh. Kemudian fatwa-fatwa itulah yang menjadi dasar pemikiraan Hanafi sampai sekarang. Keberhasilan beliau ini pada hakikatnya terdorong oleh nasihat para guru setianya, diantaranya adalah Imam Amir ibn Syahrilal-Sya’biy dan Hammad ibn Sulaiman al-Asy’Ary. 
Di samping itu semasa hidupnya, beliau dikenal sebagai sosok ‘ulama’ yang sangat dalam keilmuan keagamaannya, ahli zuhud, sangat tawadlu’ dan teguh dalam memegangi prinsip-prinsip ajaran Islam, bahkan beliau tidak tertarik sama sekali pada jabatan-jabatan pemerintahan yang pernah ditawarkan kepadanya.
Ilmu yang dimiliki oleh Abu Hanifah demikian luas terutama temuan-temuannya di bidang hukum dan memecahkan masalah-masalahnya sejumlah 60.000 masalah, hingga ia digelar dengan Imam al-A’zdam dan kekuasaan ilmunya itu diakui oleh Imam Syafi’i, beliau berkata: “manusia dalam bidang hukum adalah orang-orang yang berpegang kepada Abu Hanifah”.[4] Tampaknya ilmu Abu Hanifah bukan hanya bidang hukum tetapi juga meliputi bidang-bidang lainnya termasuk tasawuf.[5]
Kehidupan Abu Hanifah di masa Dinasti Umayyah selama 52 tahun, dan di masa Dinasti Abasiyyah selama 18 tahun. Dengan demikian beliau mengetahui hiruk pikuk pergantian kekuasaan Islam antara kedua Dinasti tersebut. Ketika Umar bin abdul aziz berkuasa (99-101 H), Abu Hanifah sudah menjelang dewasa.[6]
Untuk menjamin ekonominya, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang sutera. Dalam dagang ia dikenal jujur dan lugas. Kemakmuran hidupnya diperoleh dari dagang ini.[7] Bakat berdagangnya didapatkan dari ayahnya yang dulu juga seorang pedagang kain sutra asli Persia, yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur rasyidin.[8]
Abu Hanifah dibesarkan di Kufah. Setidaknya ada empat orang sahabat Nabi yang masih hidup ketika Abu Hanifah lahir. Anas bin malik di Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah, Abu al-Thufail, Amir bin Wailah di Mekah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau sempat berjumpa dengan Anas bin Malik di Mekah. Kalau ini benar maka Abu Hanifah merupakan seorang tabi’in. Tetapi karena sebagian besar ilmunya diperoleh dari generasi tabiit-tabi’in, maka tidak tepat dia disebut tabi’in. Seperti halnya ulama lain, Abu Hanifah menguasai ilmu kalam (dikenal dengan fiqh al-Kabir) dan ilmu fiqh. Dari segi lokasi di mana ia dibesarkan, dapat diperkirakan bahwa pemikiran keagamaan yang dikembangkan oleh Abu Hanifah adalah pemikiran Rasional.[9]
Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/ 767 M pada usia 70 tahun dan dimakamkan di pakuburan Khizra, kemudian pada tahun 450 H /1066 M, didirikanlah sebuah sekolah yang diberi nama “Al-Jami’ Abu Hanifah”.
Dari keberhasilan Abu Hanifah dalam mendidik ratusan murid yang memeliki wawasan luas dalam bidang fiqh, maka wajar jika sepeninggal beliau, ajaran dan ilmunya tersebar luas melalui para muridnya yaang memang cukup banyak. Diantaranya adalah Abu Yusuf, Abdullah bin Mubarrak, Waki’ bin Jarah bin Hasan al-Syaibaniy dan lain-lain, sehingga tidak heran jika murid-muridnya menjabat sebagai Hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyyah, Saljuk, Utsmani dan Mongol.[10]
Ø POLA PEMIKIRAN DAN METODE ISTINBATH
Imam Abu Hanifah termasuk ulama’ yang tangguh dalam memegangi prinsip pemikirannya. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya tawaran beberapa jabatan resmi di pemerintahan, tetap saja tidak mau menerimanya, baik pada masa kekholifahan Bani Umayyah di Kuffah yang dijalaninya selama 52 tahun maupun kekholifahan Bani Abasiyyah di bagdad selama 18 tahun, bahkan yang menawarinya adalah penguasa kerajaan sendiri, yaitu Yazid bin Umar dari kerajaan Bani Umayyah dan Abu ja’far al-Manshur dari kerajaan Bani Abbasiyyah sebagai seorang Hakim. Akibatnya beliau dipenjarakan sampai meninggal dunia.
Dalam perjalanan hidupnya, Imam Abu Hanifah selama 52 tahun ( yang mana pemerintahannya dipegang oleh Bani Umayyah yang berpusat di Kufah) pernah menyaksikan tragedi-tragedi besar, sehingga dalam satu sisi, kota ini memberikan arti dalam kehidupannya dalam menjadikan dirinya sebagai salah seorang ulama’ besar dengan julukan “Al-Imam al-A’dlam”. Akan tetapi disisi lain beliau merasakan kota Kuffah sebagai kota yang penuh teror yang di dalamnya diwarnai dengan pergolakan politik.[11]
Sedang untuk mengetahui methode Istidlal Imam Abu Hanifah, dapat dilihat dari pengakuan yang dibuatnya sendiri, yaitu:
1.    “Sesungguhnya saya mengambil kitab al-Qur’an dalam menetapkan Hukum, jika tidak ditemukan, maka saya mengambilnya dari al-Hadits yang shahih dan yang tersiar secara mashur di kalangan orang-orang terpercaya. Jika tidak ditemukan dari keduanya, maka saya mengambilnya dari pendapat orang-orang terpercaya yang aku kehendaki, lalu saya tidak keluar dari pandangan mereka. Jika masalah tersebut sampai pada Ibrahim al-Sya’by, Hasan ibn Sirin dan Sa’id ibn Musayyab, maka aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”
2.    Abu Hanifah berkata: “Pertama-tama saya mencari dasar hukum dalam al-Qur’an, kalau tidak ada saya mencarinya dari dalam al-Sunnah Nabi, kalau tidak ada, saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan saya memilih mana yang saya anggap paling kuat, tetapi jika orang telah melakukan ijtihad, maka saya pun melakukan ijtihad.”
3.    Dalam menanggapi persoalan, Imam Abu Hanifah selalu mengatakan:” inilah pendapatku dab jika ada orang yang membawa pendapat yang lebih kuat dari aku, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”
4.    Beliau pernah suatu saat ditanya oleh seseorang: “Apakah yang telah engkau fatwakan itu benar dan tidak diragukan lagi?.” Lalu beliau menjawab:” Demi Allah, boleh jadi itu adalah suatu fatwa yang salah yang tidak diragukan lagi akan kesalahannya.”[12]

Untuk lebih jelasnya, dasar-dasar yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan suatu hukum berdasarkan urutannya, yaitu:
1.     Al-Qur’an
2.     As-Sunnah. Kualifikasi as-Sunnah ini harus shahih, mutawatir dan juga dikenal secara luas (masyhur). Madzhab Hanafi menolak menggunakan hadis uang diriwayatkan oleh satu orang saja yang disebut hadis ahad.
3.     Perkataan sahabat
4.     Al-Qiyas
5.     Al-Istihsa, yaitu berpaling dari kehendak qiyas kepada qiyas yang lebih kuat atau pengkhususan qiyas berdasarkan dalil yang lebih kuat.
6.     Al-‘Urf, yaitu tradisi masyarakat baik berupa perkataan maupun perbuatan. Atau dengan perkataan lain adalah adat kebiasaan. Tentu saja ‘urf ini harus sejalan dengan semangat syari’ah, sedangkan ‘urf yang bertentangan dengan jelas ditolak oleh madzhab Hanafi.

Berdasarkan kenyataan dari pernyataan diatas, terlihat bahwa Imam Abu Hanifah dalam menetapkan hukum syar’i (beristidlal), tidak selalu memutuskan melalui dalalahnya secara qath’i dari al-Qur’an dan al-Sunnah yang keshahihannya yang masih diragukan, tetapi mempergunakan al-ra’yu, sebab beliau sangat selektif dalam menerima al-Sunnah, sehingga beliau tetap memperhatikan mu’amalah manusia dan adat-istiadat serta ‘urf mereka.
Dengan demikian, dalam beristinbathnya, imam Abu Hanafi tetap mempergunakan al-Qiyas sebagai dasar pegangannya, jika tidak bisa dengan menggunakan al-Qiyas, maka berpegang pada istihsan selama dapat dilakukan. Jika tidak bisa baru beliau berpegang pada adat dan ‘Urf. 
Dalam mengistinbath hukum, Abu Hanifah berpegang pada al-Qur’an dan sangat berhati-hati dalam menggunakan Sunnah. Selain itu, ia banyak menggunakan qiyas, istihsan dan urf. Menurut Manna’ al-Qatthan, Abu Hanifah juga sering menggunakan hilu al-Syari’ah, yang digunakannya ketika kondisi dan keadaan mendesak. Belakangan diketahui bahwa Imam Abu Hanifah juga mengumpulkan hadis dalam sebuah buku yang disebut Musnad Abu Hanifah. Mazhab Hanafiyyah banyak dianut oleh umat Islam di Pakistan, India, Afganistan, Turki, Asia Tengah, Mesir, Brazil dan Amerika Latin.[13]

Ø KARYA-KARYA DAN PENGIKUT IMAM HANAFI

Dalam menelusuri sejauh mana penyebaran dana perkembangan suatu mazhab, diperlukanlah adanya pengungkapan terhadap sejauh mana karya-karya yang telah dihasilkannya itu beredar dan dikembangkan oleh generasi penerusnya. Maka dari itu, karya-karya yang telah dihasilkan oleh Imam Abu Hanifah sebagai dasar pokok pengembangan mazhabnya dapat dilihat dari tiga karya besarnya, sekalipun masih dalam bentuk sebuah majalah ringkas, tetapi sangat terkenal, yaitu sebagai berikut:[14]

1.    Kitab Fikh al-Akbar
2.    Kitab al-‘Alim wa al-Mu’allim
3.    Kitab al-Musnad fi Fiqh al-Akbar

Karya ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Kitab-kitabushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
1.       al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2.       Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3.        Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul karya Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4.       Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul al-Syarakhsi)

Dalam menanggapi masalah ini, Ayeed Amir Ali menyatakan bahwa karya-karya Abu Hanifah, baik yang berkaitan dengan fatwa-fatwa maupun ijtihad-ijtihadnya saat itu ( pada masa beliau masih hidup) belum dibukukan, tetapi baru setelah wafat, muri-murid dan pengikutnya membukukan, sehingga menjadi mazhab ahl al-Ra’yi ini menjadi hidup dan berkembang dan dalam perkembangan selanjutnya berdiri sebuah Madrasah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Madrasah Hanafi atau Madrasah Ahl al-Ra’yi, selain namanya yang terkenal menurut versi sejarah hukum Islam sebagai “Madrasah Kufah”.

Ø MURID-MURID ABU HANIFAH

Sistem Penyebaran dari suatu pemikiran seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya para murid dan pendukungnya, diantaranya adalah sebagai berikut:[15]
1.    Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim al-Auza’iy (113-182 H)
Dan beliau ini menjadi seorang “Qadlibal-Qudhat (ketua Hakim tinggi yang diberi kekuasaan untuk mengangkat para Hakim daerah) pada masa khalifah Harun al-Rasyid dan menyusun kitab dengan judul: “al-Kharaj” yang membahas tentang “Hukum Pajak Tanah”.
2.    Muhammad bin Hasan bin Farqad al-Syaibany (132-189 H)
Dan beliau inilah, salah satu murid Abu Hanifah yang banyak sekali menyusun dan mengembangkan hasil karya Abu hanifah, diantaranya yang terkenal adalah Al-Kutub al-Sittah (enam kitab), yaitu:[16]
1.    Kitab al-Mabsuth
2.    Kitab al-Ziyad
3.    Kitab al-Jami’ al-Shaghir
4.    Kitab al-Jami’ al-Kabir
5.    Kitab al-Siyarul Kabir
6.    Kitab al-Siyarul Shaghir

3.    Zufar bin Huzaili (110-189 H)

Beliau merupakan salah satu ulama Abu Hanifah yang mengikuti contoh gurunya, dan menolak menerima tawaran sebagai Qadli meskipun banyak sekali tawaran menarik disodorkan kepadanya. Zufar lebih memilih untuk mengajar, yang terus dilakukan hingga dia wafat pada usia 42 tahun di Basrah.[17]
Dengan Demikian, maka melalui karya-karya itulah Abu Hanifah dan mazhabnya berpengaruh sangat luas dalam dunia Islam, khususnya mereka yang berhaluan sunny, sehingga pada masa pemerintahan dipegang oleh khalifah Bani Abbasiyyah, mazhab Abu Hanifah menjadi sebuah aliran mazhab yang paling banyak diikuti dan dianut oleh ummat Islam, bahkan pada kerajaan “Utsmani” menjadi salah satu aliran ,azhab resmi negara dan sampai sekarang tetap menjadi kelompok mayoritas di samping aliran mazhab syafi’i.[18]

Ø PARA PENGIKUT MAZHAB HANAFI

Para pengikut mazhab Hanafi saat ini sebagian besar tersebar di daerah India, Afghanistan, Iraq, Syria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname dan juga sebagian di antaranya berada di daerah Mesir. Ketika para penguasa Kerajaan Ottonom menyusun Undang-Undang hukum Islam berdasarkan mazhab Hanafi pada abad ke 19 dan menjadikannya sebagai hukum resmi negara, siapapun ulama’ yang berkeinginan menjadi seorang hakim diwajibkan untuk mempelajarinya. Dengan demikian, mazhab ini tersebar luas di sepanjang wilayah pemerintahan kerajaan Ottoman di akhir abad ke -19.[19]


Ø PERKEMBANGAN MAZHAB IMAM HANAFI

Mazhab Hanafi tercermin di Irak, negeri kelahirannya, dan di Syria. Pada awalnya mazhab berkembang ke Afganistan, anak benua India (di mana minoritas kaum Syi’ah berada), dan Turki Asia tengah. Mazhab ini menjadi favorit bagi para penguasa Turki Seljuk dan Turki Usmani dan mazhab ini memperoleh pengakuan resmi di seluruh Dinasti Usmani, sebuah status yang dipelihara di pengadilan-pengadilan para qadli, bahkan di provinsi-provinsi Usmani terdahulu di mana mayoritas penduduk bumi putranya adalah para pengikut mazhab lain, seperti Mesir.[20]
Dapat dikatakan bahwa perkembangan Mazhab Hanafi boleh dikatakan menduduki posisi yang paling tinggi dan luas dibandingkan dengan mazhab-mazhab lain. Hal ini disebabkan dengan adanya hal-hal sebagai berikut:
1.    Pada masa kekhalifahan Abbasiyyah, ia menjadi alirang Mazhab yang secara umum menjadi pegangan masyarakat di Irak yang dapat mengalahkan Mazhab lain lantaran pengaruhnya dalam Mahkamah-Mahkamah Pengadilan.
2.    Pada masa kekhalifahan Ustmaniyyah, Mazhab ini menjadi mazhab resmi pemerintahan, bahkan berubah menjadi satu-satunya sumber dari panitia negara dalam menyusun kitab “Majallah al-Akhkam al-‘Adaliyyah (Kompilasi Hukum Islam).[21]
Dari kedua kekhalifahan itulah, yang membuat Mazhab aliran Hanifah berkembang pesat di berbagai negara, khususnya negara-negara yang pada masa dahulu tunduk kepada keduanya, seperti:
1.    Mesir, Syria dan Lebanon
2.    Tunisia yang menjadi mazhab keamiran.
3.    Turki dan dibeberapa negara yang dahulunya tunduk kepada kekuasaan Turki
4.    Albania yang menjadi aliran mazhab yang umum dipakai oleh masyarakat.
5.    Balkan dan Tanzaniyyah yang menjadi panutan dalam bidang peribadatan.
6.    Pakistan, Afganistan, Turkinistan dan penduduk muslim yang berdomisili di India dan Tiongkok, begitu juga para penganutnya di negara-negara lain.
Dengan demikian, maka kenyataan seperti itu dapat disimpulkan bahwa kesemua penganut aliran Mazhab Hanafi itu lebih kurang ada sepertiga dari jumlah seluruh ummat Islam sedunia.[22]

Pandangan Ulama Terhadap Abu Hanifah

Beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah,yang diantaranya adalah:
·            Yahya bin Ma’in berkata: “Abu Hanifah termasuk seorang yang tsiqoh, beliau itu tidak membicarakan hadits kecuali yang beliau hafal dan beliau tidak membicarakan perihal apapun yang tidak beliau hafal”. Dan pada saat (di waktu) yang lain Yahya bin Ma’ain berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang tsiqoh didalam hadits”. Dan beliau juga pernah berkata bahwa, “Abu hanifah laa ba’sa bih, ia tidak tertuduh dengan berdusta, dan ia tidak berdusta, ia orang yang jujur, …”.
·            Abdullah ibnul Mubarok berkata: “Kalau saja Allah SWT tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan menjadi seperti orang biasa”. Dan beliau juga berkata: “Abu Hanifah merupakan orang yang paling-faqih”. Dan beliau pun juga pernah berkata : “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai Abu Abdillah, Abu Hanifah adalah orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah walaupun kepada musuhnya’ dan kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, beliau adalah orang yang paling berakal, beliau tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau berkata, “Aku datang menuju ke kota Kufah, kemudian aku bertanya (kepada mereka) siapakah orang yang paling wara’ di (kota) Kufah ini? Maka mereka penduduk Kufah pun menjawab: Abu Hanifah”. Beliau juga berkata, “Apabila atsar sudah diketahui, masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik, Sufyan dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya ialah Abu Hanifah … dan beliau adalah orang yang paling faqih dari ketiganya”.
·            Al-Qodhi Abu Yusuf berkata: “Abu Hanifah pernah berkata: tidak selayaknya/pantas bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali semua yang ia hafal sebagaimana ia mendengarnya”. Kemudian beliau pun berkata : “Saya tidak melihat seorang pun yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits selain Abu Hanifah”.
·            Imam Syafii berkata: “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah ia belajar kepada Abu Hanifah”.
·            Fudhail bin Iyadh berkata: “Abu Hanifah adalah seseorang yang faqih, terkenal dengan wara’-nya, termasuk juga salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmunya, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan baik, menghindari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ pun mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.
·            Yahya bin Sa’id al-Qothan, berkata : “(sungguh) Kami tidak mendustakan Allah SWT, kami tidak pernah mendengar pendapat yang lebih baik dari yang lain selain pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapat darinya”.
·            Hafsh bin Ghiyats, berkata: “(sungguh) Pendapat Abu Hanifah didalam masalah fiqih, pendapatnya lebih mendalam dibandingkan dengan syair, dan tidak ada seorang pun yang mencelanya melainkan mereka itu orang yang jahil tentangnya”.
·            Al-Khuroibi, berkata : “(sungguh) Tidaklah orang-orang itu mencela Abu Hanifah melainkan mereka itu termasuk pendengki atau orang yang jahil”.
·            Sufyan bin Uyainah, berkata : “Semoga Allah SWT (selalu) merahmati Abu Hanifah sebab beliau adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya ( orang yang banyak melakukan shalat)”.

B.  Mahdzab Hambali

Ø BIOGRAFI IMAM AHMAD IBN HANBAL

Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Hanbal ibn Asad ibn Idris ibn Abdullah ibn Hasan al-Saybaniy. Beliau lahir di Bagdad tahun 164 H/780 M dan wafat tahun 241 H/855 M di kota ini juga dalam usia 70 tahun. Ibunya bernama Syariah Maimunah binti Abdul Malik ibnu Sawa dan ibnu Hindun al-Saybaniy. Jadi baik dari arah ayah maupun ibu, imam Ahmad ibn Hanbal berasal dari keturunan "Bani Syaiban", salah satu kabilah yang berdomisili di semenanjung Arabia.[23]

Kedua orang tua Imam Ahmad Ibn Hanbal berasal dari kota Marwin, wilayah Khurasan, ayahnya keninggal pada saat beliau masih dalam kandungan ibunya dan ketika ibunya pergi ke Baghdad, lahirlah Imam Ahmad Ibu Hambal di Baghdad pada bulan Rabi' al-Awwal tahun 164 H. dan berdomisili di Baghdad sampai meniggal dunia pada tahun 241 H. 

Imam Hanbali dilahirkan pada masa pemerintahan Islam ada di tangan Muhammad Al Mahdy (dari Banu Abbas yang III), yang pusat kekuasaannya ada di kota Baghdad, jadi beliau dilahirkan di pusat ibu kota pemerintahan bani Abbasiyah.[24]

Ibnu Hanbal hidup sebagai seorang yang rendah dan miskin, karena bapaknya tidak meninggalkan warisan padanya selain dari sebuah rumah yang kecil yang didiaminya, dan sedikit tanah yang sedikit penghasilannya. Oleh kaena itu beliau menempuh kehidupan yang susah beberapa lama sehingga beliau terpaksa bekerja untuk mencari kebutuhan hidup.[25]

Sejak kecil sudah tampak minatnya kepada agama, beliau menghafal al-Quran, mendalami bahasa arab, belajar hadist, atsar sahabat dan tabi’in serta sejarah nabi dan para sahabat. Beliau belajar fiqh dari Abu Yusuf muridnya Abu Hanifah dan dari imam Al-Syafi’i, tetapi perhatiannya kepada hadits ternyata lebih besar. Beliau belajar Hadits di Bagdad, Basrah, Kufah, Mekkah, Madinah dan Yaman. Beliau selalu menuliskan Hadist dengan perawai-perawainya dan cara ini pun diharuskan kepada murid-muridnya.[26]

Imam Ahmad belajar fiqh kepada imam asy-syafi’i semasa dia berada di Bagdad. Akhirnya Imam Ahmad menjadi seorang mujtahid mustaqil.[27]

 

Ø POLA PEMIKIRAN DAN METODE ISTINBATH IMAM AHMAD IBN HANBAL

Pada hakikatnya para ulama bersepakat bahwa Imam Ahmad Ibnu Hanbal adalah salah seorang pemuka ahli al-Hadits dan tidak pernah menulis secara khusus kitab fiqh, sebab semua masalah fiqh yang dikaitkan dengan diri beliau itu hanyalah berasal dari fatwa-fatwanya yang menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang pernah diajukan kepadanya, sedang yang menjadi sebuah kitab fiqh adalah pengikutnya.[28]

Fiqh Ahmad Ibn Hanbal itu pada dasarnya lebih banyak didasarkan pada al-Hadits, dalam artian jika terdapat al-Hadits al-Shahih, yang diambil hanyalah al-Hadits al-Shahih tanpa mau memperhatikan adanya faktor lainnya. Dan jika ditemukan adanya fatwa sahabat, maka fatwa sahabatlah yang diamalkan. Akan tetapi jika ditemukan adanya beberapa fatwa para sahabat dan fatwa mereka tidak seragam, maka yang dipilih fatwa mereka yang mendekati al-Qur'an dan al-Hadits.

Para ulama' berselisih pandangan tentang posisi Imam Ahmad Ibn Hanbal sebagai ulama' yang ahli dalam bidang fiqh, sebab kenyataannya Imam Ahmad Ibn Hanbal tidak terlalu mempertimbangkan adanya pendapat-pendapatnya pada saat menghadapi perbedaan dalam masalah fiqh dikalangan para fuqaha', mangingat posisinya sebagai ahl al-Hadits, sehingga beliau ini tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok ahl fiqh, sebab dasar pijakan fiqhnya lebih banyak kepada al-Hadits.

Dengan melihat pola pemikiran Imam Ahmad Ibn Hanbal, maka metode istidlal yang dipakai dalam menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut; 

1.    Al-Qur'an dan al-Sunnah al-Sahih 

Jika Imam Ahmad Ibn Hanbal sudah menemukan Nash, baik al-Qur'an maupun al-Hadits al-Sahih, maka dalam menetapkan hukum Islam adalah dengan Nash tersebut sekalipun ada faktor-faktor lain yang boleh jadi bisa dipakai bahan pertimbangan. Menurutnya bahwa nas adalah sumber hukum tertinggi.

2.    Fatwa Para Sahabat Nabi saw 

Jika tidak ditemukan dalam Nash yang jelas, maka beliau menggunakan fatwa-fatwa dari para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan diantara mereka. Jika terjadi perselisihan, maka yang diambil adalah fatwa-fatwa yang beliau pandang lebih dekat kepada Nash, baik al-Qur'an maupun al-Hadits. 

3.    Al-Hadits al-Mursal dan al-Hadits Dlaif 

Jika dari ketiganya tidak ditemukan, maka beliau menetapkannya dari dasar al-Hadits al-Mursal atau al-Hadits al-Dlaif.[11] Alasan mendahulukan hadiys dlaif dari pada Qiyas adalah pernyataan beliau “berpegang kepada hadis dlaif lebih saya sukai dari pada qiyas”.

4.    Al-Qiyas 

Jika dari semua sumber di atas tidak ditemukan, maka Imam Ahmad Ibn Hanbal menetapkan hukuum islam dengan mempergunakan:

a.    Al-Qiyas

b.    Maslahah Mursalah, terutama dalam bidang sosial politik. Contoh: 

1.    Menetapkan hukum ta'zir bagi mereka yang selalu berbuat kerusakan.

2.    Menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap mereka yang meminum minuman keras di siang hari di bulan Ramadhan.

Adapun hal-hal yang berkaitan masalah hukum halal dan haram beliau sangat teliti dalam mengkaji beberapa al-Hadits dan sanadnya yang terkait dengannya, tetapi beliau sangat longgar dalam menerima al-Hadits yang berkaitan dengan masalah akhlaq, fadla'il al-a'mal atau adat istiadat yang terpuja.

Ø KARYA DAN PENGIKUT IMAM AHMAD IBN HANBAL

Ibnu Hanbal tidak mengarang selain dari hadits dan sunnah. Pada keseluruhan kitab-kitabnya membicarakan hadits-hadits rasulullah SAW. sehingga surat atau risalahnya pun juga dengan pembicaraan yang sama. Kesemuanya berdasarkan kepada dalil-dalil dari al-Qur'an atau percakapan-percakapan Rasulullah juga sahabat-sahabatnya. 

Kitabnya yang termasyhur sekali adalah Al-Masnad yang mana beliau menghimpun di dalamnya beberapa banyak hadits-hadits Rasulullah SAW. beliau mulai menyusun kitab tersebut pada tahun 180 H dan dijadikan kitabnya sebagai panutan atau Imam.

Ibnu Hanbal memuatkan ke dalam kitabnya Al-Masnad empat puluh ribu hadits. Beliau telah memilihnya dari tuju ratus ribu hadits. Sebagian dari para ulama' mengatakan semua hadits-haditsnya adalah sahih. 

Karza-karya Imam Ahmad Ibnu Hanbal yang lain adalah Al-Naskh wa al-Mansukh, al-Muqaddam wa al-Muakhkharfi al-Qur'an, al-TArikh, Manasik al-Kubra, Manasik al-Sughra, Tha'ah al-Rasul dan kitab al-Salah. 

Ø PENGIKUT IMAM AHMAD IBN HANBAL

Sebagian besar pengikut Mazhab Hanbali tersebar di Palestina dan Saudi Arabia. Tetapi eksisnya mazhab Hanbali di Saudi Arabia, sesudah tidak ditemukan lagi di negeri muslim manapun adalah karena adanya fakta bahwa pendiri dari yang dinamakan Gerakan Revivalis Wahabi, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, pernah belajar kepada para ulama' yang menganut mazhab Hanbali dan dengan demikian secara tidak resmi menjadi mazhab fiqh dari gerakan Revivalis tersebut. Ketika Abdul Azis bin Saud merebut sebagian besar semenanjung Arabia dan mendirikan dinasti Sa'ud, ia menjadikan Mazhab Hanbali sebagai dasar sistem hukum kerajaan.
Adapun dari antara para murid beliau yang akhirnya menjadi ulama' besar dan terkemuka serta terkenal yaitu: Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Abu Zur'ah Ar-Razy, Abu Zur'ah al-Damasyqy, Ibnu Abi Dunya, Abu Bakar al-Atsram, Hanbal bin Ishaq Asy-Syaibani (putra dari paman beliau sendiri).
Masih banyak lagi sahabat-sahabat imam Ahmad  ibn Hanbal, pengikut-pengikut serta murid-muridnya yang menyalin dan menulis ilmu fiqh Ibnu Hanbal diantara mereka terdapat juga anaknya yang bernama Salih, yaitu anaknya yang tertua. Beliau seorang yang sangat bersungguh-sugguh tentang hadits-hadits seperti ayahnya. Beliau meninggal dunia pada tahun 290 hijriyah.

Ø PERKEMBANGAN MAZHAB HANBALI

Perlu diketahui bahwa Mazhab Hanbali ini boleh dikatakan sebagai suatu mazhab yang daerah perkembangannya kurang begitu luas, di mana pada awalnya tersiar di Bagdad lalu pada abad ke empat hijriyah dapat berkembang di luar Irak dan pada abad ke enam dapat juga berkembang di Mesir.[29]
Pada awalnya mazhab ini dihidupkan dan di perbaharui oleh beberapa mujtahid, seperti Ibnu Taimiyah dan murid-murid Ibnu Qayyim, lalu pada abad kedua belas dilakukan lagi pembaharuan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab di Najm dengan memperbaharui sistem penyebarannya dalam bentuk gerakan, yang lazim dikenal dengan sebutan gerakan wahhabi. 
Dari pembaharuan sistem baru dalam penyebaran mazhab seperti itulah, maka mazhab Ibnu Hanbal berkembang dan menyebar secara signifikan diberbagai wilayah Saudi Arabiyyah. 

C.  Madzab Syafi’i
Ø BIOGRAFI IMAM SYAFI’I
Nama asli dari Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Gelar beliau adalah Abu Abdillah. Orang Arab kalau menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama, sehingga berbunyi; Abu Abdillah Muhammad bin Idris. Beliau lahir di Gazza, bagian Selatan dari Palestina, pada tahun 150 H/767M, pertengahan abad kedua Hijriyah. Ada ahli sejarah mengatakan bahwa beliau lahir di Asqalan, tetapi kedua perkataan ini tidak berbeda karena Gazza dahulunya adalah daerah Asqalan. Kampung halaman Imam Syafi’i bukan di Gazza Palestina, tetapi di Mekkah (Hijaz). Dahulunya Ibu-Bapaknya datang ke Gazza untuk suatu keperluan, dan tidak lama setelah itu beliau lahir. Ketika ia masih kecil, bapaknya meninggal di Gazza, dan ia menjadi anak yatim yang hanya diasuh oleh ibunya saja.
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i yaitu:
1.    Sewaktu Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnya dan terus naik membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah bercerai dan berserak menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menakbirkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad. Sekarang menjadi kenyataan bahwa ilmu Imam Syafi’i memang memenuhi dunia, bukan saja di tanah Arab, di Timur Tengah dan Afrika, tetapi juga sampai ke Timur Jauh, Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina dan lain-lain.
2.    Pada hari Imam Syafi’i dilahirkan, dua orang ulama besar meninggal dunia. Seorang di Baghdad ( Iraq), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (pembangun Mazhab Hanafi) dan seorang lagi di Mekkah, yaitu Imam Ibnu Jurej al Maky, mufti Hijaz ketika itu. Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.[30]

Nenek moyang Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdul Manaf bin Qushai. Abdul Manaf bin Qushai yang menjadi nenek ke-9 dari Imam Syafi’i adalah Abdul Manaf bin Qushai nenek yang ke-4 dari Nabi Muhammad SAW. Nenek moyang Nabi Muhammad sebagai dimaklumi adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin dan Marah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihir bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Ma’ad bin Adnan sampai kepada Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim AS. Teranglah bahwa silsilah Imam Syafi’i senenek moyang dengan Nabi Muhammad SAW. Adapun dari pihak Ibu; Fathimah binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jadi Imam Syafi’i adalah cucu dari cucu Saidina Ali bin Abi Thalib, menantu Sahabat Nabi dan Khalifah ke IV.3 Dalam sejarah ditemukan bahwa Saib bin Abu Yazid Nenek Imam Syafi’i yang ke-5 adalah sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi baik dipandang dari segi keturunan darah maupun dipandang dari keturunan ilmu maka Imam Syafi’i yang kita bicarakan ini adalah karib kerabat dari Nabi Muhammad SAW. Gelar Syafi’i dari Imam Syafi’i diambil dari neneknya yang ke-4 yaitu Syafi’i bin Saib. Dengan demikian, Imam Syafi’i adalah dilahirkan dari keturunan suku Quraish, keturunan orang alim dan arif serta masih merupakan keluarga keturunan Nabi Muhammad SAW. Ia besar dalam keadaan yatim dan lahir dari keturunan Arab suku Quraisy. Imam Syafi’i lahir dalam keluarga yang mulia dari segi keturunan dan keilmuan , tetapi ia tumbuh besar dalam keadaan yatim, sehingga ia hidup dalam kesederhanaan. Hidup Imam Syafi’i ketika kecil tidak terlalu miskin sehingga membuatnya hina dan juga tidak keluarga yang kaya sehingga ibunya bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Bahkan ia diasuh oleh ibunya dalam keadaan serba kekurangan.
Setelah pada usia remaja, ia mulai menggeluti pendidikan. Pendidikan dimulainya dengan belajar bahasa Arab dari penutur asli Bahasa Arab, yaitu Bani Huzail. Selanjutnya ia belajar ilmu hadis, ilmu fikih dan Al-Qur’an di Mekkah. Pendidikan ini dilanjutkan ke Madinah pada usia 21 tahun. Imam Syafi’i belajar di Medianah kepada Imam Malik dan guru-guru yang ada di Madinah. Ia bersama Imam Malik hingga gurunya tersebut meninggal.
Setelah Imam Malik meninggal dunia, Imam Syafi’i hijrah ke Yaman untuk mengabdi kepada pemerintah sebagai sekretaris pemerintahan. Di Yaman beliau juga mengabdi sebagai guru dan sambil belajar. Di negeri Yaman inilah Imam Syafi’i menikah dengan Hamidah binti Nafi’, seorang puteri keturunan saidina Usman bin Affan. Usia beliau sewaktu menikah lebih kurang 30 tahun dengan mendapatkan anak sebanyak tiga orang, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Anak laki-laki ini bernama Muhammad bin Syafi’i yang kemudian menjadi ulama besar dan menjadi qadhi di jazirah. Namun karena fitnah yang menimpanya dengan tuduhan terlibat dalam kegiatan politik kelompok Syiah yang menentang khalifah, maka pada tahun 184 Imam Syafi’i ditangkap dan di bawa ke Baghdad untuk menghadap khalifah Harun al Rasyid.
Setelah Imam Syafi’i bebas dari segala tuduhan, maka ia kembali ke Mekkah. Ia mengabdi sebagai guru di Mekkah selama lebih kurang 17 tahun. Ia telah meninggalkan Mekkah selama lebih kurang 11 tahun semenjak usia 20 tahun. Di Mekkah ini ia menaburkan ilmu kepada murid-muridnya dan jemaah haji sehingga ia mulai dikenal kaum muslimin8 . Pada saat di Mekkah ini, Imam Syafi’i belum menjadi Imam Mujtahid Muthlak, ia masih mengajarkan apa yang dituntutnya selama ini, baik itu di Mekkah, Madinah dan di Baghdad.
Pada tahun 198 H, Imam Syafi’i berangkat ke Kota Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan negara. Ia berangkat ke Baghdad setelah Imam Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan as Syaibany, dan Khalifah Harun al-Rasyid wafat. Di Baghdad inilah Imam Syafi’i mulai mendirikan mazhab dengan metodenya sendiri. Ia tidak terikat sekali lagi dengan metode yang ditempuh oleh para gurunya, baik itu yang ada di Madinah pendiri Mazhab Maliki yang terkenal dengan ahlu hadis maupun para gurunya yang ada di Baghdad yang dikenal dengan ahlu ra’yi. Sesudah usia Imam Syafi’i 48 Tahun dan telah belajar dan mengajar selama 40 tahun, ia baru mendirikan mazhab Syafi’i dengan metode sendiri. Di Baghdad ini, Imam Syafi’i telah menghasilkan karya-karyanya yang berkaitan dengan ushul fiqh dan fikih. Pendapat-pendapat beliau yang ada di Baghdad ini disebut dengan qaul qadim. Imam Syafi’i hanya sebulan di Baghdad, kemudian ia pun hijrah ke Mesir. Di Mesir ia juga mengajar sebagaimana di Baghdad. Ia menjadi ulama besar di Baghdad, dan begitu juga di Mesir. Sekitar hampir enam tahun lamanya Imam Syafi’i menetap di Mesir. Ia telah berhasil mengajar dan berkarya. Pendapatpendapat Imam Syafi’i di Mesir disebut dengan qaul jadid. Pada hari Kamis malam Jum’at tanggal 29 Rajab sehabis waktu Isya, tahun 204 H/820 M, Imam Syafi’i wafat disamping muridnya ar Rabi’ al Jizzy.
Ø PERIODE FIQIH IMAM SYAFI’I
A.  Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah meninggalkan kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan menghimpun berbagai hadits. upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadits di sisi al-Qur’an  kitab ar-Risalah adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi.
B.  Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
C.  Periode Ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki bebeerapa ingkatan: pertama, al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga, pendapat salah satu sahabat lain yang menentangnya. Keempat,  sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada al-qur’an dan hadits.
Ø INTLEKTUAL IMAM SYAFI’I
1.    Pendidikan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bukanlah ahli pendidikan, tetapi ia adalah praktisi pendidikan sebagai guru. Imam Syafi’i adalah ahli hukum tetapi ia bukan praktisi hukum. Ia banyak mengajarkan hukum tetapi tidak pernah jadi hakim. Ia lama jadi murid dan guru, tetapi ia tidak berkarya tentang pendidikan. Secara sosial, kehidupan masa Imam Syafi’i sedang berkembang ilmu pengetahuan yang pesat. Pada masa ini muncul pemikir-pemikir Islam dalam ilmu kalam, filsafat dan politik. Politik yang berkembang adalah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah dan Muktazilah. Filsafat juga sedang berkembang, dimana buku-buku filsafat dari Yunani dan Romawi banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Daulah yang berdiri pada masa Imam Syafi’i adalah Daulah Abbasiyah dengan Khalifah Harun al Rasyid, al Makmun dan al Amin. Ketiga khalifah ini adalah khalifah pada masa kejayaan Islam. Hal ini berpengaruh kepada budaya intlektual yang diterima Imam Syafi’i.[31]
Pendidikan Imam Syafi’i dimulai sejak dini. Setelah berusia sekitar dua tahun, ibunya membawa Imam Syafi’i kembali ke Mekkah kampung halaman ayah dan ibunya. Selama di Mekkah inilah Imam Syafi’i belajar Sastra Arab, membaca Al-Qur’an, Hadis dan Fiqih pada awalnya.
Semasa masih kecil, Imam Syafi’i belajar Bahasa Arab dari penutur asli. Penutur asli yang dimaksud adalah ia belajar langsung ke daerah Arab pedalaman atau yang disebut Arab Badui. Kalau di Kota Mekkah sudah tidak asli lagi, karena sudah bercampur dengan pendatang. Imam Syafi’i belajar Bahasa Arab kepada suku atau kabilah Huzail. Atas persetujuan ibunya, ia menetap bersama masyarakat suku Huzail. Pada masa itu kabilah Huzail terkenal dengan kemahiran tata bahasa dan sastra Arab. Mereka banyak yang mampu menggubah syair-syair yang indah serta dapat mengucapkan bahasa Arab dengan fasih dan murni. Imam Syafi’i belajar bersama mereka sehingga ia merasa mampu menguasai bahasa Arab yang benar dan indah. Ia mampu menguasai syair Imrun ul Qois, syair Zuheir, syair Jarir dan lain-lain.
Setelah kembali dari pedusunan Arab Mekkah, Imam Syafi’i melanjutkan pendidikannya di kota Mekkah. Di Kota ini ia belajar membaca al-Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthien. Dalam usia tujuh tahun ia telah mampu menghafal Al-Qur’an 30 juznya. Sedangkan ilmu fikih dipelajarinya dari mufti Hijaz pada masa itu, yaitu Muslim bin Khalid az Zanji dan belajar hadis kepada Sofyan bin Uyainah (w. 198). Selama di Mekkah, Imam Syafi’i telah belajar Sastra dan Tata Bahasa Arab, Al-Qur’an, Hadis dan Fiqh.
Pendidikan di Mekkah tidak memuaskan hati Imam Syafi’i walaupun ia sudah banyak mengetahui berbagai ilmu, karena ia adalah orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia melanjutkan pendidikannya ke Madinah. Alasan beliau untuk melanjutkan pendidkan kesana adalah karena disana ada seorang ulama yang sangat pintar dan terkenal, yaitu Malik bin Anas pendiri Mazhab Maliki. Dengan perbekalan hafal Al-Qur’an dan kitab Muwattha’ dan surat rekomendasi dari gurunya Muslim bin Khalid az Zanji dan walikota Mekkah, maka Imam Syafi’i berangkat menuju Madinah untuk berguru kepada Imam Malik.
Sesampai di Madinah, Imam Syafi’i diantar oleh Wali Kota Madinah menuju rumah Imam Malik. Imam Malik setelah menerima surat dari Wali Kota Mekkah yang dialamatkan kepadanya, menyindir dengan mengatakan: “Subhanallah, mengapa menuntut ilmu Rasulullah pakai perantara?”.
Wali Kota Madinah mempersilahkan Imam Syafi’i mengutarakan tujuannya. Imam Syafi’i berkata: Mudah-mudahan tuan dikaruniai Allah, saya ini dari kaum Muthalib datang kemari dari Mekkah untuk menuntut ilmu dari tuan guru karena saya sudah lama mengetahui ilmu tuan guru, tetapi sekarang hendak mendengar dengan telinga sendiri pengajian-pengajian dari tuan guru”.
Sesudah Imam Malik memperhatikan Imam Syafi’i , lalu ia berkata: “ Siapa namamu?”.
Imam Syafi’i menjawab: “Muhammad bin Idris”.
Imam Malik menyambung, “Hai Muhammad, bertaqwalah kepada Tuhan dan jauhilah sekalian kedurhakaan. Saya melihat padamu akan terjadi apa-apa.”
“Baiklah, “ kata Imam Malik, “Besok datanglah lagi dan akan saya suruh orang membacakan al Muwattha’ kepadamu.”
Jawab Imam Syafi’i, “Tidak perlu dicarikan orang lain karena saya sudah menghafal di luar kepala kitab al Muwattha’ itu.”
Imam Malik menjawab, “Kalau begitu keadaannya, cobalah baca”. Imam Syafi’i lantas membaca kitab al Muwattha’ yang didengar oleh Imam Malik dengan seksama dan disana-sini membetulkan pembacaan-pembacaan Imam Syafi’i yang lancar itu. Sesungguhnya Imam Malik sangat kagum melihat pemuda itu, karena masih dalam usia muda remaja sudah mendalam ilmunya, sudah mahir dalam arti ayat-ayat suci dan hadis-hadis Nabi dan kaedah-kaedah Bahasa Arab.
Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik di Madinah selama dua tahun. Dia belajar banyak kepada Imam Malik. Disamping belajar, Imam Syafi’i juga bertugas membantu Imam Malik untuk mendiktekan kitab Muwattha’ kepada murid-murid yang lain, padahal murid-murid tersebut adalah ulama yang berasal dari berbagai kota, seperti Mesir. Di antara murid Malik bin Anas yang didiktekan oleh Imam Syafi’i kepadanya kitab Muwattha’ adalah Abdullah bin Abdul Hakam, Asyhab Ibnu Qasim dan al Laits bin Sa’ad dari Mesir.[32]
Selama di Madinah, Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik selama tujuh tahun dalam dua periode. Periode pertama adalah pada tahun 170 H s/d 172 H. Periode kedua adalah 174 H-179 H. Pada periode pertama dan kedua, Imam Syafi’i tinggal bersama dengan Imam Malik. Dengan demikian, metode pendidikan yang diterapkan oleh Imam Syafi’i adalah metode mushâhabah.
Imam Syafi’i tidak hanya mendengarkan pelajaran di Mesjid, tetapi juga dengan pergaulan bersama Imam Malik. Periode kedua adalah setelah Imam Syafi’i kembali dari Baghdad. Pada periode ini, Imam Syafi’i sudah mendapatkan banyak ilmu. Imam Malik bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Malik bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melibihi ilmunya. Imam Syafi’i telah belajar kepada Imam Malik pendiri Mazhab Maliki dan juga kepada Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, murid dan sahabat Imam Abu Hanifah. Dengan demikian, ilmu yang didapatkan oleh Imam syafi’i adalah gabungan dari ilmu pendiri Mazhab Maliki dan pendiri Mazhab Hanafi.
Setelah periode pertama belajar kepada Imam Malik selama dua tahun, Imam Syafi’i ingin melanjutkan studinya ke Baghdad, karena disana masih ada sahabat dan murid Imam Abu Hanifah sang pendiri Mazhab Hanafi. Mereka adalah Qadhi Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Untuk berangkat ke Mesir, Imam Malik tidak hanya melepaskan muridnya begitu saja, tetapi ia memberikan perbekalan selama dalam perjalanan. Imam Malik menghadiahkan sebanyak 50 dinar emas, cukup untuk belanja dan menginap disitu beberapa waktu lamanya karena ongkos kendaraan dari Madinah ke Iraq hanya empat dinar emas.
Sesampainya di Kufah, Imam Syafi’i menetap di rumah Imam Muhammad bin Hasan. Imam Syafi’i belajar kepada Imam Muhammad bin Hasan dan Qadhi Abu Yusuf. Imam Syafi’i juga mencatat, mengutip dan menyalin beberapa naskah dari kitab-kitab yang ada di rumah Imam Muhammad. Imam Syafi’i, Imam Muhammad bin Hasan dan Qadhi Abu Yusuf sering melakukan mubahatsah, muzakarah, dan munaqasyah. Imam Syafi’i dapat menguasai fiqih ahli Iraq. Ia dapat menambah pengetahuan tentang cara-cara qadhy memeriksa perkara dan memutuskannya, memberi fatwa dan menjatuhkan hukuman dan sebagainya yang dilakukan oleh para qadhy dan mufti disana, yang selamanya belum pernah beliau ketahui di negeri Hijaz.
Disamping belajar kepada guru, Imam Syafi’i dapat menambah pengetahuan serta pengalaman tentang keadaan perikehidupan dan pergaulan penduduk di sana, dan menambahkan pula pengertian beliau tentang adat istiadat dan tabiat bangsabangsa lainnya, yang selama beliau di Hijaz belum pernah diketahui. Dilatarbelakangi oleh perasaan tidak puas terhadap ilmu, Imam Syafi’i melanjutkan pendidikannya menuju daerah Persia. Imam Muhammad bin Hasan sangat mendukung niat Imam Syafi’i tersebut, dan ia membekali muridnya tersebut berupa uang sebanyak 3000 dirham. Imam Syafi’i melakukan perjalanan (rihlah) menuju Persia, Rum atau Anathul, Hirah dan Palestina. Di negerinegeri itu, Imam Syafi’i menambah ilmu pengetahuan dari para ulama yang ada di negeri-negeri tersebut. Mengingat ada hubungan yang sangat erat antara latar belakang ilmu seseorang dengan pendapat-pendapat yang dikemukakannya, maka ada beberapa ilmu yang dianggap sebagai keahlian Imam Syafi’i. Imam Syafi’i adalah ahli dalam bahasa Arab, ilmu hadis, ilmu tafsir,ilmu fikih, ilmu sejarah, ilmu kalam, dan ilmu lainnya seperti ilmu kesehatan dan firasat.
2.    Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempelajari fiqih dan hadis dari para guru yang tempat tinggal mereka saling berjauhan dan guru-guru tersebut juga mempunyai metode keilmuan yang berbeda. Sebagaian diantara mereka yang menjadi guru Imam Syafi’i ada yang menganut aliran Mu’tazilah dan termasuk orang-orang yang menggeluti ilmu kalam. Keberadaan guru yang beraliran Muktazilah tidaklah menghalangi Imam Syafi’i untuk mengambil sisi kebaikan yang ada dalam diri guru tersebut.
Imam Syafi’i memperoleh pelajaran dari guru-gurunya di Mekkah, Madinah, Yaman dan guru-gurunya di Irak. Fakhrurrazai menyebutkan nama-nama sebagian gurunya. Ketahuilah Imam Syafi’i banyak sekali mempunyai guru. Diantara guru-guru yang dikenal adalah Sembilan Belas orang, lima orang di Mekkah, enam orang di Madinah, empat orang di Yaman dan empat orang di Irak. Guru-guru Imam Syafi’i di Mekkah Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid al Zanji, Said bin Salim al Qaddah, Daud binAbdurrahman al Athar dan Abdul Hamid Ibnu Abdul Aziz bin Abi Rawad. Guru-gurunya di Madinah adalah Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa’ad al Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad ad Darwardi, Ibrahim bin Abi Yahya al Asami, Muhammad bin Abi Fudaik, dan Abdullah bin Nafi’ ash Shaigh, Sahabat Ibnu Abi Dzuaib.
Guru-guru yang berasal dari Yaman adalah Muthraf bin Mazin, Hisyam bin Yusuf seorang Qadhi kota Shan’a, Umar bin Abi Salamah sahabat al Auza’i dan Yahya bin Hasan sahabat al Laits bin Sa’ad. Kemudian guru-guru Imam Syafi’i yang berasal dari Iraq adalah Waqi’ bin al Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah, keduanya orang Kufah, Ismail bin Aliyah dan Abdul Wahab bin Abdul Majid; keduanya orang Basrah. Imam Syafi’i juga menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan, mendengar pembacaan kitab-kitab karya Imam Muhammad bin al Hasan secara langsung.
Imam Syafi’i juga meriwayatkan hadishadis dari Imam Muhammad bin al Hasan dan mempelajari fikih masyarakat Irak langsung dari Imam Muhammad bin al Hasan. Dengan demikian, Imam Muhammad bin al Hasan termasuk salah seorang ulama yang menjadi guru dari Imam Syafi’i.
Dari pembicaraan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Imam Syafi’i telah mempelajari ilmu dari sejumlah guru besar yang mempunyai aliran mazhab yang bermacam-macam. Imam Syafi’i telah mempelajari fikih-fikih beraneka ragam yang ada pada zamannya. Ia mempelajari fikih dari Imam Malik bin Anas, mempelajari fikih al Auza’i dari sahabatnya Umar bin Abi Salamah, mempelajari fikih al Laits bin Sa’ad dari sahabatnya Yahya bin Hasan dan mempelajari fikih Imam Abu Hanifah dari Imam Muhammad bin Hasan.
Dengan demikian, Imam Syafi’i telah mempelajari mazhab Maliki, mazhab al Auza’i, mazhab al Laits dan Mazhab Abu Hanifah. Semua ini masih tergolong mazhab ahlusunnah wal jama’ah. Imam Syafi’i juga mempelajari mazhab Syi’ah. Imam Syafi’i pernah berguru kepada Muqatil bin Sulaiman. Muqatil bin Sulaiman adalah ahli tafsir penganut mazhab Syiah Zaidiyah. Imam Syafi’i tetap mempelajari karya-karyanya.
3.    Murid Murid Imam Syafi’i
Imam Syafi’i mempunyai banyak murid yang selalu setia menimba ilmu dari beliau pada ketiga fase kehidupan intlektualnya. Baik pada saat di Mekkah, menetap di Kota Baghdad pada kunjungan keduanya, maupun ketika di Mesir. Diantara muridmurid beliau di Mekkah adalah Abu Bakar al Humaidi. Beliau adalah seorang ulama fikih sekaligus ulama hadis yang tsiqqah dan hafizh dalam ilmu hadis. Al Humaidi wafat 219 H di kota Mekkah. Beliau ikut melakukan perjalanan bersama Imam Syafi’i menuju kota Mesir, kemudian kembali ke Mekkah setelah wafatnya Imam Syafi’i. Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al Abbasi bin Usman bin Sayfi al Muthallibi. Beliau adalah ulama hadis sampai derajat al Hafiz. Beliau tidak ada meriayatkan dari Imam syafi’i yang berkenaan dengan fikih. Selanjutnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Idris dan Abu al Walid Musa bin Abu al Jarud.
Sedangkan murid Imam Syafi’i di Baghdad adalah Abu alHasan as Shabbah al-Za’farany, Abu Ali al Husaini bin Ali al Karabisi, Abu Tsaur al Kalbi, Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad bin Yahya al Asy’ary al Bashry, dan Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaihi.
Murid-murid Imam Syafi’i yang berasal dari Mesir adalah Harmalah bin Yahya bin Harmalah, Abu Ya’qub bin Yahya al Buathi, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzni, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, ar Rabi bin Sulaiman bin Daud al Jizi, ar Rabi’ bin Sulaiman al Muradi.
Berdasarkan tempat, Imam Syafi’i menuntut ilmu dan tempatnya mengabdi sebagai guru dan pemerintahan, maka wajarlah pengaruh mazhab Syafi’i ada di Mekkah, Baghdad, Mesir dan Yaman. Semua murid ini menebar ke sejumlah negara, hingga Asia Tenggara yang mayoritas muslim penganut mazhab Syafi’i.
4.    Metode Imam Syafi’i
Berbicara mengenai metode yang ditempuh Imam Syafi’i, maka dapat dirujuk kepada dua masalah, yaitu metode belajar mengajar dalam pendidikan dan metode dalam menggali (mengistinbath) hukum.
Metode pendidikan yang dipraktekkan dan ditempuh oleh Imam Syafi’i dapat dipelajari melalui sejarah hidupnya ketika menuntut ilmu dan mengajarkannya. Ada beberapa metode yang ditempuh oleh Imam Syafi’i ketika menuntut dan mengajarkan ilmu. Hal itu bisa dianalisa sebagai berikut:
A.    Metode langsung (mutalaqy)
Di awal pendidikan Imam Syafi’i, ia belajar membaca dan menghafal al-Qur’an. Dalam usia 7 tahun, ia telah mampu menghafal al-Qur’an. Ia mempelajari baca al-Qur’an dengan rangkaian sanad lengkap kepada Isma’il Qastantin, seorang guru terkemuka pada masa itu di Mekkah pada waktu itu; dari Syibl ibn Abbad dan Ma’ruf ibn Misykan dari Yahya Abdullah ibn Katsir dari Mujahid dari Ibnu Abbas dari Ubay bin Ka’ab dari Rasulullah. Kemudian Imam Syafi’i belajar sastra Arab langsung dari penutur asli, yaitu Bani Huzail. Dengan demikian, Imam Syafi’i belajar langsung dari ahlinya dan penuturnya.
Dalam belajar Al-Qur’an harus didengar dan dilafalkan, demikian juga dalam berbahasa. Karena bahasa adalah budaya, maka bahasa harus dipelajari kepada pemilik budaya itu sendiri. Disamping belajar secara langsung, ketika mengajar pun, Imam Syafi’i berjumpa langsung dengan muridnya. Ia mendiktekan (imla’) pelajaran-pelajaran di depan murid, dan murid mendikte apa yang disampaikan oleh gurunya. Hal ini terlihat dalam kitab al Umm, dengan lafal Imam mendiktekan kepada kami.

B.  Metode rihlah (pengembaraan)
Dalam menuntut ilmu, Imam Syafi’i tidak hanya puas apabila ia belajar kepada seorang guru dan hanya pada satu tempat saja. Dalam masalah rihlah untuk menuntut ilmu, Imam Syafi’i mengungkapkan sebagai berikut:
v Adalah tidak enak bagi orang cerdik pandai untuk tinggal tetap di suatu tempat. Oleh karena itu, tinggalkanlah tanah airmu dan mengembaralah !
v Musafirlah, engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah, karena kelezatan hidup adalah bekerja keras.
v Saya berpendapat bahwa air kalau tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Kalau ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor.
v Singa kalau tidak keluar dari sarangnya, ia tidak akan makan. Anak panah kalau tidak meluncur dari busurnya, ia tidak akan mengena.
v Matahari pun kalau tetap niscaya seluruh manusia akan marah kepadanya.
v Tibir(bahan baku emas) adalah seperti tanah saja ketika ia masih tergelatak di tempatnya. Kayu harum pada ketika di rimba, sama saja dengan kayu yang lain.
v Kalau yang ini (kayu harum) keluar dari rimba, sukar sekali mendapatkannya, dan itu ( tabir) kalau keluar dari tempat sudah berharga seperti emas.[33]
C.  Metode Mushâhabah
Metode mushâhabah adalah metode bersahabat antara guru dan murid. Murid tinggal bersama dengan guru sehingga murid mengerti betul tentang kehidupan gurunya. Ia mendapatkan ilmu tidak hanya pada halaqah atau kelas guru, tetapi juga dalam kehidupan seharian. Imam Syafi’i tinggal bersama gurunya Imam Malik sekitar 7 tahun, dan bersama Imam Muhammad bin Hasan selama lebih setahun. Dalam metode mushabah ini, guru bisa menyampaikan ilmu melalui tingkah laku guru ( uswatun), dan murid akan bebas bertanya, sehingga ilmu yang diperoleh menjadi utuh.
D.  Metode muzâkarah, mubâhatsah dan munâqasyah
Dalam belajar, Imam Syafi’i dan gurunya menempuh metode muzâkarah (saling membahas dengan mengingatkan hal-hal yang tidak diketahui murid), mubâhatsah (dengan cara saling membahas dan memberi argumentasi) dan munâqasyah (saling mengkritik untuk analisa). Semua metode ini dilakukan oleh Imam Syafi’i bersama gurunya dan ia lakukan terhadap muridnya. Ketika Imam Syafi’i menjadi murid Imam Muhammad bin Hasan, mereka sering melakukan mubâhatsah, muzâkarah, dan munâqasyah, demikian juga setelah Imam Syafi’i kembali dari Baghdad, ia sering ber-mubahasah dengan Imam Malik.
E.    Metode Training (tadrîb)
Metode latihan sangat sering dilakukan Imam Syafi’i dan gurunya ketika belajar. Ketika Imam Syafi’i berusia 15 Tahun, ia sudah belajar berfatwa di depan gurunya Muslim bin Khalid az Zanjy.23 Ketika ia berguru dengan Imam Malik, ia juga ditugaskan untuk mendiktekan kitab al Muwattha’ kepada murid Imam Malik, seperti Muhammad bin Abdul Hakam.
5.   Karya Imam Syafi’i
Sedangkan karya beliau dalam bentuk kitab adalah Kitab arRisâlah dan Kitab al-‘Umm. Kedua kitab ini adalah karya Imam Syafi’i yang sangat spektakuler. Kitab ar-Risâlah adalah kitab yang pertama diakui sebagai kitab Ushul Fiqh. Oleh karena itu, dapat diakui bahwa Imam Syafi’i adalah Imam Pertama yang pernah menyusun kitab dalam bidang disiplin ilmu Ushul Fiqh. Sedangkan Kitab al-Umm adalah kitab yang berisi tentag fikih secara sistematis.
Kitab ar-Risâlah ini berisi ilmu Ushul Fiqh. Menurut riwayat kitab ini dikarang pada masih usia muda. Sebabnya beliau mengarang kitab ini adalah karena diminta oleh Abdurrahman bin Mahdy, seorang Imam ahli hadis yang terkemuka di masanya, bahwa beliau supaya merencanakan sebuah karangan kitab yang membicarakan Ushul Fiqh. Dengan permintaan ini, lalu beliau mengarang kitab ar Risalah. Dalam kitab inilah Imam Syafi’i mengarang dengan jelas tentang cara-cara orang ber-istinbâth hukum dari al-Qur’an dan Hadis, dan cara-cara orang ber-istidlâl dengan Ijma dan Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al Murady. Kitab ini hingga kini masih dapat diketahui dan dipelajari isinya, karena masih tersiar di seluruh dunia Islam. Bagi para ulama yang hendak mengetahui ilmu ushul fiqh Imam Syafi’i cukuplah mempelajari kitab ar-Risâlah.
Kitab al-‘Umm adalah satu-satunya kitab besar yang direncanakan dan disusun Imam Syafi’i yang berisi pendapatpendapat hukum Islam menurut Imam Syafi’i. kitab ini disusun oleh Imam Syafi’i dan dibantu oleh para murid-muridnya.
Menurut K.H. Moenawar Chalil, cetakan yang paling baru dari kitab al-‘Umm menjadi 7 jilid besar serta tebal atas biaya al Marhum Ahmad Bek al Husaini di Mesir. Dalam kitab al-‘Umm cetakan baru ini termasuk juga kitab-kitab karangan Imam Syafi’i yang lain, seperti;
v  Kitab Jami’ul Ilmi. Kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’i terhadap Sunnah Nabi SAW.
v  Kitab Ibthalul Istihsan, kitab ini berisi tangkisan Imam Syafi’i kepada para ulama ahli Iraq (Baghdad), yang mereka itu sebagian suka mengambil hukum dengan cara istihsan.
v  Kitab ar Raddu ala Muhammad Ibnu Hasan, kitab ini pertahanan Imam Syafi’i terhadap serangan Imam Muhammad bin Hasan kepada para Ahli Madinah.
v  Kitab Siyarul Ausa’iy, kitab ini berisi pembelaan Imam Syafi’i terhada Imam Ausya’i. beliau ini seorang alim besar ahli hadis dan termasuk Imam Besar di masa sebelum Imam Syafi’i dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 88 H dan wafat pada tahun 150 H.
Disamping kitab al-‘Umm, Imam Syafi’i juga menulis kitab Ikhtilaf al-Hadits. Kitab ini satu-satunya kitab yang disusun oleh Imam Syafi’i dimana isinya keterangan dan penjelasan beliau tentang perselisihan hadis-hadis Nabi SAW. Kitab al Musnad Imam Syafi’i adalah kitab yang berisi sandaran (sanad) Imam Syafi’i dalam meriwayatkan hadis-hadis Nabi yang beliau himpun dalam kitab al-‘Umm.
Di dalam kitabnya tersebut terdapat istilah qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim dan qaul jadid adalah pendapat-pendapat Imam Syafi’i yang dibedakan atas wilayah tempat dikeluarkannya suatu fatwa. Qaul qadim adalah fatwa yang ada di Baghdad, dan qaul jadid fatwa setelah di Mesir. Perubahan dari qaul qadim ke qaul jadid dapat terjadi karena menurut Imam Syafi’i setiap kasus menuntut ijtihad tersendiri, dan fatwa harus senantiasa baru sesuai dengan hasil ijtihad terakhir, tidak terikat dengan fatwa terdahulu. Perubahan fatwa dari qaul qadim ke qaul jadid sangat terkait dengan perubahan dalil atau cara pandang yang digunakan dalam setiap ijtihadnya. Akan tetapi, kegiatan ijtihadnya tidak lepas dari pengaruh kondisi sosial, budaya, ekonomi dan perbedaan geografis dan sebagainya sebab perkembangan atau perbedaan pada aspekaspek tersebut selalu melahirkan lapangan ijtihad baru.
Dr. Lahmuddin Nasution memberikan sepuluh contoh masalah perbedaan qaul qadim dan qaul jadid. Diantaranya adalah air musta’mal, zakat zaitun, mengganti puasa untuk mayyit dan penyaksian rujuk. Menurut qaul qadim air musta’mal tetap suci dan mensucikan, sedangkan menurut qaul jadid air musta’mal tetap suci tetapi tidak mensucikan. Pada qaul qadim, zaitun wajib dizakati sedangkan dalam qaul jadid zaitun tidak wajib zakat. Puasa untuk mayyit dalam qaul qadim orang yang tidak berpuasa dengan sengaja pada waktu hidupnya dan ia meninggal, maka puasanya dapat digantikan oleh walinya, sedangkan menurut qaul jadid, puasanya tidak bisa diganti, tapi yang bisa adalah kaffarah dari hartanya. Dan masih banyak lagi contoh yang lain.
6. Karakter Imam Syafi’i Sebagai Ilmuan Klasik
Imam Syafi’i memiliki kepribadian ilmiah yang tinggi yang menyertainya sepanjang hidupnya, sejak masa kecilnya dan terus menemaninya hingga meninggal di Mesir pada tahun 204 H, ketika berusia 54 tahun.Ada beberapa karakter personal Imam Syafi’i sebagai ilmuan yang sangat positif.
Diantara karakter tersebut yang dapat disimpulkan adalah:
v Sebagai ilmuan Imam Syafi’i gigih, tabah dan sabar dalam menuntut ilmu dan giat beribadah.
Imam Syafi’i adalah orang yang sangat giat dan gigih menuntut ilmu. Hampir sebagian besar waktunya dihabiskan untuk menuntut ilmu. Imam Syafi’i dilahirkan pada keluarga yang kurang mampu, sehingga ia tidak bisa memenuhi dirinya untuk keperluan belajar. Inilah yang menuntut Imam Syafi’i untuk bekerja keras menghafal hadis atau pelajaran-pelajaran yang disampaikan gurunya. Ia tidak mampu membeli kertas untuk mencatat pelajaran, sehingga ia harus mengahafal semua pelajaran, karena rumahnya sudah dipenuhi oleh kertas, pelepah kurma dan sebagainya.
Disamping gigih untuk menuntut ilmu, Imam Syafi’i juga gigih dalam mengajar dan menebarkan ilmu. Ia selalu bangun tengah malam dan berfikir serta menulis. Pernah suatu riwayat menjelaskan bahwa anak Muhammad bin Abdul Hakam mengintip Imam Syafi’i yang sedang menumpang tidur di rumahnya. Orang tuanya selalu menceritakan kerajinan Imam Syafi’i beribadah. Pada suatu malam ia mengintip Imam Syafi’i sedang tidur dan tidak shalat malam dan belajar. Maka hal ini disampaikannya kepada ayahnya bahwa Imam Syafi’i tidak shalat malam dan tidak belajar. Pagi harinya Imam Syafi’i berdialog dengan ayahnya tentang masalah-masalah hukum. Imam Syafi’i mengungkapkan bahwa telah menyelesaikan beberapa masalah hukum tadi malam. Begitulah Imam Syafi’i yang selalu belajar dan berfikir. Pembantu Imam Syafi’i juga menjelaskan bahwa Imam Syafi’i selalu menulis di tengah malam, maka pembantunya bertugas untuk selalu menghidupkan lampu. Pekerjaan ini selalu dilakukan oleh pembantunya hingga ia merasa capek. Imam Syafi’i sangat gemar menulis. Disamping itu, Imam Syafi’ tidak puas hanya belajar kepada satu guru pada satu tempat saja. Ia selalu mencari ilmu walaupun harus keluar dari negerinya. Ia belajar ke Madinah, Baghdad dan Kufah, Yaman dan Mesir. Ini dilakukan dengan penuh ketabahan dan kesabaran, karena ia bukanlah orang yang tergolong mampu secara ekonomi.
v Sebagi ilmuan, Imam Syafi’i tidak tamak terhadap harta
Disamping beliau gigih menuntut ilmu, Imam Syafi’i juga orang yang sabar dalam menuntut ilmu. Ia rela menghabiskan waktunya bersama Imam Malik selama tujuh tahun. Ia tidak hanya belajar, tetapi juga bergaul dengan Imam Malik serta membantunya dalam belajar, mengajar dan hidup dalam rumah tangga sang guru. Pekerjaaannya hanya sebagai murid dan guru mulai kecil kecuali sekitar satu tahun ketika di Yaman. Ia pernah bekerja pada pemerintahan karena desakan ekonomi setelah gurunya Imam Malik meninggal dunia.
Setelah ia menjadi guru, maka ia banyak mendapatkan harta. Karena ia seorang dermawan, ia selalu menafkahkan harta yang diperolehnya. Ia tidak terkenal meninggalkan harta warisan yang banyak. Ketika ia bertugas di pemerintahan Yaman, ia pernah menerima uang sebanyak 10.000 dirham. Uang ini dibagikan kepada masyarakat di luar kota oleh Imam Syafi’i. Ia tidak pelit dan sangat dermawan. Banyak cerita tentang kedermawanannya.
v Sebagi ilmuan, Imam Syafi’i tidak tamak terhadap jabatan
Sebagai seorang yang pintar, cerdas dan berwibawa, Imam Syafi’i pernah ditawarkan menjadi seorang qadhi di Yaman. Ia tidak menerima tawaran tersebut, pada hal tawaran itu adalah sangat bergengsi ketika itu. Gurunya Waqi menganggap ia pantas dan layak untuk menjadi qadhi, tetapi tawaran khalifah Harun al Rasyid tersebut ditolaknya.
v Sebagi ilmuan, Imam Syafi’i terbuka dalam berdialog
Dalam bidang ilmu, Imam Syafi’i sangat terbuka. Ia mendengarkan pendapat muridnya, dan bersedia menjawab pertanyaan. Hal ini terlihat ketika ber-muhasabah, ber-muzakarah dan mengambil keputusan. Salah satu contohnya adalah masalah qaul qadim dan qaul jadid. Perubahan pendapat Imam Syafi’i ini bukan karena ketidakmampuannya atau ketidakkonsistenannya dalam ilmu. Itu adalah karena keterbukaan ilmu untuk dikoreksi dan penerimaan pendapat lain.
v Sebagai ilmuan Imam Syafi’i siap mengkader muridnya.
Imam Syafi’i tidak hanya mengajarkan ilmu kepada muridmuridnya, tetapi ia juga melatih dan membimbing muridnya untuk mencari ilmu dan berfatwa. Diantara muridnya yang berhasil dikader untuk menjadi ulama adalah Za’faran, al Karabisi, al Muradi. Mereka ini adalah hasil kader Imam Syafi’i di Baghdad. Sedangkan di Mesir diantaranya adalah al Muzany, al Buwaithi, al Humaidi dan masih banyak lagi yang lain.
v Sebagai ilmuan Imam Syafi’i penuh pendirian (istiqamah) dalam berpendapat dan taat pada metodologi.
Imam Syafi’i adalah orang yang teguh pendirian. Ia tidak mudah terombang ambing dalam menuntut ilmu dan menentukan keputusan apa saja. Walaupun Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan dua murid Imam Hanafi pendiri Mazhab Maliki dan Hanafi, ia tetap mempunyai pendirian. Ia berani mengkritik pendapat gurunya yang menurutnya tidak beralasan walaupun kadangkala pendapatnya dibantah oleh murid para imam tersebut. Ia bukanlah orang yang suka bertaqlid. Ini terlihat pada karyanya yang menolak istihsan mazhab Hanafi dan menolak Ijma Ahli Madinah mazhab Maliki. Untuk lebih jelasnya baca Karya Muhammad Abu Zahrah tentang Imam Syafi’i.
v Suka bersahabat dengan orang berilmu
Dalam perjalanan hidup Imam Syafi’i, ia selalu bersahabat dsengan orang yang menuntut dan mengajarkan ilmu. Dia tidak mepunyai kesibukan selain belajar dan mengajar kecuali ketika ia di Yaman. Di Yaman ia belajar mengajar dan juga bekerja pada pemerintahan.
v Teliti dalam menerima dan menggunakan riwayat
Imam Syafi’i adalah seorang ilmuwan Islam yang berpegang teguh kepada Sunnah, sehingga beliau diberi gelar pembela hadis atau pembela sunnah (nashiru sunnah). Diantara ungkapanungkapannnya yang begitu membela hadis adalah misal orang yang menuntut ilmu pengetahuan dengan tidak alasan dari Nabi (hadis) itu, seperti orang-orang buta pada malam hari, ia membawa seberkas kayu dan di dalamnya ada seekor ular yang berbisa yang akan memagutnya, padahal ia tidak tahu. Walaupun Imam Syafi’i sangat berpegang teguh kepada Hadis, ia tetap hati-hati dalam menerima dan menggunakan Hadis sehingga ia selalu meneliti kebenaran Hadis tersebut. Bahkan Imam Syafi’i tidak serta merta menggunakan dan mengamalkan Hadis sahih ia tetap menelitinya apakah ada nasikh dan mansukh.
v Suka melakukan muzakarah, mubahasah dan munaqasyah
Disamping gigih dalam menuntut ilmu, Imam Syafi’i juga adalah orang yang sangat suka berdiskusi. Dalam menuntut dan mengajarkan ilmu ia suka bertanya dan juga menjawab pertanyaan. Ia sangat longgar dan toleran, ia adalah lautan ilmu yang dasarnya sangat dalam dan tepinya sangat luas. Ia memiliki ilmu-ilmu din dari Al-Qur’an, hadis, fiqih dan ilmu bahasa.
v Rendah hati dalam menuntut serta mengajarkan ilmu
Rendah hati Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu dan mengajarkannya terbukti ketika ia mengoreksi pendapatnya ketika ia mendapatkan ilmu baru. Ia tidak memaksakan pendapat dalam satu hal hukum.

D.  Mahdzab Imam Malik
Ø BIOGRAFI IMAM MALIK
Nama lengkap beliau adalah Malik Bin Anas bin Malikbin Abi ‘Amar al-Asybahi al-‘Arabiy al-Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik al-Azdiyyah dari Kabilah al-Yamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H / 789 M. (712 M) di Kota Madinah dan meninggal tahun 179 H/ 789 M. Dalam usia 87 tahun. Kakeknya bernama Malik, yang datang ke Madinah setelah Rasulullah saw Wafat. Sedang kakeknya termasuk golongan “Tabi’in”, yang banyak meriwayatkan al-Hadits dari Umar bin Khatab, ‘Utsman Bin ‘Affan dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok Ulama’ terkemuka dalam bidang ilmu Hadits dan Fiqh. Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang Tabi’in muda. Di antara gurunya juga adalah Nafi’, tabi’in tua dan budak dari Abdullah bin Umar.
Beliau dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang kurang mampu dalam bidang material, tetapi sangat taat dalam pelaksanaan ajaran Islam dan benar-benar cinta terhadap ilmu agama Islam, khususnya bidang al-Hadits, sehingga Imam Malik sangat menguasainya dan periwayatan al-Hadist banyak diperoleh dari Nafi’ Maula Ibnu Umar yang dikenal dengan sebutan Abu Suhail (salah satu guru Imam al-Zuhri). 
Pada masa itu, kota Madinah merupakan pusat ilmu pengetahuan agama, kerana banyak para Tabi’in yang menerima ilmu tersebut dari para sahabat Nabi, sehingga banyak sekali para ulama’ yang berasal dari luar daerah berdatangan kesana untuk bertukar pikiran dengan para ulama’ Madinah, di samping menuntut ilmu.
Ø POLA PIKIR DAN METODE ISTINBATH IMAM MALIK 
Imam Malik adalah seorang Imam Mujtahid dan ahli ibadah sebagaimana imam Abu Hanifah. Karena ketekunan dan kecerdasan yang dimilikinya, beliau tumbuh dengan cepat sebagai ulama kenamaan dalam bidang Ilmu al-Hadits dan fiqh. 
Karena merasa memiliki kewajiban untuk membagi pengetahuan yang telah dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkannya. Maka beliau mulai mengajar dan menulis, sehingga wujudlah kitab Muwatha’ yang menjadi rujukan pertama para ahli fiqh dan al-Hadist, bahkan tidak sedikit dari golongan muhadditsin yang mempelajarinya, sebab susunannya telah diatur sistematis menurut sistim fiqh, bahkan Imam Syafi’iy menanggapinya dengan menyatakan bahwa tidak ada satupun kitab setelah kitab Allah dimuka bumi ini yang yang lebih sah dari pada kitab Imam Malik. 
Namun demikian, beliau sering mengalami berbagai macam kekejaman dan keganasan yang sangat berat dari penguasa, lantaran sikapnya yang tidak mau mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyyah di Baghdad, akibatnya beliau mendapat siksaan berat dan dihukum penjara. 
Imam Malik termasuk salah satu ulama’ yang sangat teguh dalam membela kebenaran. Bahkan beliau sangat berani dalam menyampaikan apa-apa yang telah diyakini akan kebenarannya, misalnya pada suatu ketika Harun al-Rasyid memperingatkan beliau untuk tidak mengatakan sepotong Hadist tertentu, tetapi tidak dihiraukannya, lalu beliau membacakan al-Quran surat al-Baqarah ayat 159. Yang artinya: 

“sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang Allah turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, maka akan dilaknat oleh Allah dan semua makhluk”.

Sedang dalam masalah hukum dan fatwa, beliau sangat berhati-hati dalam membuat keputusan yang akan diambilnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataannya sendiri yang mengatakan bahwa “Aku tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu Hadist, selama 70 orang Ulama’ belum mau membenarkan dan mau mengakui kebenaran yang akan fatwanya. 

Ø METODE ISTINBATH HUKUM IMAM MALIK

Dengan melihat sikap kehati-hatian dan ketelitian Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam, selalu berpegang teguh pada hal-hal sebagai berikut: 
1.    Al-Qur’an.
Sebagaimana Imam-imam lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Quran sebagai sumber hokum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan prasyarat apapun dalam penerapanya.
2.    Al-Sunnah.
Dalam hal ini, Imam Malik mengikuti pola yang dilakukanya dalam berpegang teguh kepada al-Qur’an. Artinya: Jika dalil syara’ itu menghendaki adanya penta’wilan, maka yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil.
3.    Ijma’ Ahl Madinah
Imam Malik berpandangan bahwa karena sebagian besar masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjadi tempat Rasulullah SAW menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, maka praktik yang dilakukan semua masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, jika tidak malah dianjurkan oleh Nabi SAW sendiri. Oleh karenanya Imam Malik menganggap praktek umum masyarakat Madinah sebagai bentuk Sunnah yang sangat otentik yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata. 
4.    Fatwa sahabat
Ketentuan hukum yang telah diambil oleh sahabat besar berdasarkan pada Naql. 
5.    Qiyas
Imam Malik pernah menerapkan penalaran deduktifnya sendiri menegenai persoalan-persoalan yang tidak tercakup oleh sumber-sumber yang telah disebutkan sebelumnya. Namun demikian, ia sangat berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti itu.
6.    Istislah (Mashlahah Mursalah)
Istislah adalah menegkalkan apa yang telah ada karena suatu hal yang belum diyakini. Yang dimaksud dengan Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang ketentuan hukumnya dalam nash tidak ada. Para ulama bersepakat bahwa Mashlahah al-Mursalah bisa dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dengan memenuhi persyaratan diantaranya, pertama, Maslahah itu harus benar-benar Mashlahah yang pasti menurut penelitian, bukan hanya sekedar perkiraan sepintas kilas. Kedua, Mashlahah harus bersifat umum untuk masyarakat dan bukan hanya berlaku pada orang tertentu yang bersifat pribadi. Ketiga, Mashlahah itu harus benar-benar yang tidak bertentangan dengan ketentuan Nash atau Ijma.
7.    Al-Istihsan
Menurut Imam Malik adalah menentukan hokum dengan mengambil mashlahah sebagai bagian dalil yang bersifat menyeluruh dengan maksud mengutamakan Istidlalul Mursah dari pada Qiyas, sebab mengunakan istihsan itu, tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, tetapi mendasarkan pada Maqashid al-Syari’ah secara keseluruhan. 
8.    Sadd al-Zara’i
Menutup jalan atau sebab yang menuju kepada hal-hal yang dilarang. Dalam hal ini Imam Malik menggunakannya sebagai salah satu dasar pengambilan hukum, sebab semua jalan atau sebab yang bisa mengakibatkan terbukanya suatu keharaman, maka sesuatu itu jika dilakukan hukumnya haram.
9.    Syar’u man Qablana
Prinsip yang dipakai oleh Imam Malik dalam menetapkan hukum adalah kaidah dan prinsip ini dijadikan sebagai salah satu dasar pengambilan hukum oleh Imam Malik. 
10.     Istishab

Tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah berlaku dan sudah ada dimasa lampau, maka sesuatu yang sudah diyakini adanya, kemudian datang keraguan atas hilangnya sesuatu yang telah diyakini adanya tersebut, maka hukumnya tetap seperti hukum pertama yaitu tetap ada.

Ø KARYA DAN PENGIKUT MADZHAB MALIKI

Imam Malik memiliki beberapa karya yang ditulis semasa waktu beliau hidup dan ada pengikut yang setia kepadanya sebagaimana berikut:
1.    Karya Imam Malik
Penyabaran suatu pemikiran dari seorang tokoh, dapat dilihat dari adanya dan tidaknya karya yang telah dihasilkan dengan dukugan para murid dan pendukung yang siap menyebarkan dan mengembangkannya. Sedang diantara karya Imam Malik terbesar adalah:
A.  Kitab “Al-Mudawanah al-kubra”.
B.  Kitab “Al-Muwaththo” yang ditulis tahun 144 H. Atas anjuran Khalifah Ja’far al-Manshur.

Dari hasil penelitian jumlah atsar Rasulullah, sahabat dan tabi’in yang ada didalamnya adalah 1.720 buah. Dan didalam pembahasannya, ditemukan adanya dua aspek pembahasan, yaitu aspek al-Hadist. Dan aspek al-Fiqh. 
§  Aspek Al-Hadist
Dalam aspek ini, lebih disebabkan karena al-Muwatho’ banyak sekali yang mengandung al-Hadist, baik yang berasal dari Rasulullah, sahabat maupun tabi’in. Semuanya kebanyakan didapat dari sejumlah orang yang jumlahnya ,encapai 95 orang yang berasal dari Madinah kecuali empat orang, dan jumlah al-Hadist yang diterimanya tidak banyak, bahkan ada yang hanya satu atau dua buah saja, yaitu: Abu al-Zubair dari Makkah, Humaid al-Ta’wil dari Bashrah, Ayyub al-Sahtiyaany dari Bashrah, Ibrahim bin Abi Ablah dari Syam. Atho’ bin Abdullah dari Khurasan dan Abdul Karim dari Jazirah Arab. 
Adapun orang-orang yang meriwayatkan al-Hadist kepada Imam Malik tersebut, ada yang berjumlah besar, seperti ibnu shihab al-Zuhry, Nafi’ dan Yahya ibn Sa’ad. Sedang mereka itu kebanyakan para sahabat yang sudah lama berdomisili di Madinah. 
Sedangkan sanad yang ada didalam kitab Muwatho’ itu, ada yang lengkap yang Mursal, Muttashil dan yang Muqathi’, bahkan ada yang disebut dengan istilah “Bataghat” yaitu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerimanya. 
Dalam pengumpulannya, Imam Malik melakukan penyeleksian yang sangat ketat dan teliti, sehingga memakan waktu yang relatif lama dalam mewujudkan sebuah karya besar, bahkan ada yang menyatakan telah mengumpulkan sebanyak 4.000 buah al-Hadist, yang ketika beliau wafat jumlahnya tinggal 1.000 saja, sebab setiap tahunnya hadist-hadist tersebut diusahakan agar lebih sesuaiuntuk kaum muslimin dan man yang lebih mendekati kebenaran. Dalam keadaan seperti itulah, maka kedudukan Kitab Muwatho’ dikalangan Muhadditsin setelah dilakukan penelitian, memiliki kedudukan bahwa kedudukan kitab-kitab al-Hadist yang disusun oleh Imam Bukhari-Muslim.
§  Aspek Fiqh
Adapun yang dimaksutkan dengan istilah aspek “Fiqh” adalah karena kitab al-Muwatha’ ini disusun berdasarkan sistematika bab-bab pembahasan kitab-kitab fiqh, yaitu bab Thaharah, Shalat, Zakat, Shiam, Nikah dan seterusnya dan setiap bab dibagi lagi menjadi beberapa fasal, seperti dalam bab Shalat ditemukan adanya fasal tentang shalat jama’ah, shalat safar dan seterusnya, sehingga hadist-hadist yang ada dalam kitab al-Muwatha’ ini serupa dengan kitab-kitab fiqh. 
Dengan begitu, kitab-kitab karya Ulama’ bermadzhab Maliki itu adalah sebagai berikut: 
A.  Al-Muwatha’ al-Sughra, Hadist koleksi Imam Malik, karya Imam Malik.
B.  Al-Muwatha’ al-Kubra, Kumpulan Risalah Imam Malik oleh As’adbin al-Furat al-Naisaburi.
C.  Al- Mudawwanah, kumpulan hasil diskusi As’ad dengan ibn al-Qasim, oleh As’ad Bin Firat Naisabury.
D.  Al-Asadiyah, hasil revisi Shanuun dari kitab al-Mudawwanah karya As’ad, oleh Shanuun menurut Madzhab Imam Malik.

2.    Murid Imam Malik
Kebanyakan imam-imam yang termasyhur pada zaman Imam Malik adalah murid beliau dan murid-muridnya datang dari berbagai penjuru negeri, Di antara murid-muridnya adalah: 
·      Abu Abdurrahman bin Qasim ( 745-813 M ). Beliau lahir di Mesir namun ia pindah ke Madinah dan menimba ilmu dengan Imam Malik selama lebih 20 tahun, Imam Qasim menulis sebuah buku yang mendalam tentang fiqh Madzhab yang berjudul Al-Mudawwanah, yang bahkan melampaui Al-Muwatta’ karya Imam Malik sendiri.
·      Abu Abdullah bin Wahab ( 742-819 M ). Ibn Wahab juga dari Mesir ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Imam malik, Ibn Wahab mempunyai keahlian mendiskusikan hokum hingga mencapai kemampuan tertentuy yang gurunya sendiri kemudian memberikan julukan Al-Mufti, yang berarti pengurai hukum Islam.
·      Asyhab bin Abul Aziz
·      Asad Bin Al-Furat
·      Abdul Malik Bin Al-Masjisun
·      Abdullah Bin Abdul Hakim 

3.    Pengikut Imam Malik
Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara ( Tunisia, Aljazair dan Maroko ) Afrika Barat ( Mali, Nigeria, Chad,) dan Negara-negara Arab ( Kuwait, Qatar, Bahrain ).

Ø PERKEMBANGAN MADZHAB MALIKI

Pada awalnya, madzhab Imam Malik timbul dan berkembang di kota Madianah sebagai tempat kelahiran yang sekaligus tempat domisi Imam Malik, kemudian berkembang di negara Hijaz dan Mesir, sekalipun di Mesir sempat mengalami kesurutan akibat berkembangnya madzhab Syafi’i. Sekalipun demikian pada masa pemerintahan dipegang oleh al-Ayyubi, sebagai pengikut madzhab Maliki, mengalami kemajuan kembali. 

Selanjutnya, dimasa pemerintahan dipegang Hisyam Ibn Abdurrahman yang bermadzhab Maliki, yang mendapatkan kedudukan tinggi dengan menjabat sebagai seorang Hakim negara, sehingga memberi dampak madzhab Maliki bertambah subur dan berkembang sangat pesat. Dari realitas seperti itulah, wajar jika pada permulaannya faktor kedudukan dan kekuasaan menjadi salah satu penyebab berkembang luasnya aliran madzhab Hanafi di daerah Timur dan aliran Madzhab Malik di daerah Andalusia. 
Adapun para sahabat dan murid Imam Malik yang sangat berjasa dalam mengembangkan madzhabnya adalah:
1.    Di Mesir, antara lain: 
-       Abu Hasan Ali bin Ziayad al-Thusiy (w.183 H) sebagai pakar hukum Islam di Afrika.
-       Abu Abdillah Ziyah bin Abdurrahman al-Quthubiy (w. 193 H), pembuka Madzhab Maliki di Andalusia.
-       Isa bin Dinar al-Qurthubiy al-Andalusiy (w. 212 H) pakar hokum Islam di Andalusiy.
-       Asad bin al-Furat bin Sinan al-Tunisy (145-213 H).
-       Yahya bin yahya bin Kathir al-Laithiy (w. 234 H), penyeber Madzhab Maliki di Andalusi.
-       Abul Malik bin Hubaib bin Sulaiman al-Sulami (w. 238 H).
-       Sahnun Abdus Salam bin Sa’id al-Tanukhi, (w. 240 H), penyusun kitab pegangan para ulama’ Madzhab Maliki.
2.    Di Hijaz dan Irak, diantaranya adalah: 
-       Abu Marwan Abadul Malik bin Abiu Salamah al-Majishun (w.212 H).
-       Ahamad bin Mu’adl-dlal bin Ghailan al-‘Abdiy.
-       Abu Ishak Isma’il bin Ishak (w.282 H).

Sedang para pengikut diadab ke-lima dan ke-enam hijriyyah diantaranya adalah Abdul Wahid al-baji, Abdul Hasan, Al-Lakhamiy, Ibnu Rusyd al-Kabir, Ibnu-Rusyd al-Hafidh dan Ibnu al-‘Araiy, kemudian disusul dengan adanya Abu Qasim al-Jizziy (w 741 H) pengarang kitab “ al-Qawanin al-Fiqhiyyah Fi Talkhishi Madzhabi al-Malikiy” dan Sayyid Khalil (w 11 767 H) dan al-Adawiy (1189 H) dan masih banyak yang lain, diantaranya adalah ‘Utsman bin al-Hakam al-Juzami, Abdurrahman Ibn Khalid Ibn Yazid Ibn Yahya, Abdurrahman ibn al-Qasim, Asyhab ibn Abdul’Aziz, Ibn Abdul Hakam, Haris ibn Miskin dan orang-orang yang semasa dengan mereka. 
Oleh sebab itulah, maka dalam perkembangan selanjutnya Madzhab Maliki sebagaimana keterangan diatas yang mana lahir di Madinah dan tersiar di Hijaz kemudian dianut oleh para Ulama dan penduduk Maghribi dan Andulisia, yang pada umumnya gaya hidup mereka tidak semaju gaya hidup orang-orang di Irak , sehingga gaya hidup mereka jika dilihat dari sisi ini akan condong pada gaya hidup penduduk Hijaz,[8] sekalipun demikian, madzhab Maliki ini sampai sekarang masih saja tetap menjadi madzhab kaum muslimin hampir di seluruh Negara, bahkan Madzhab Maliki sampai sekarang masih diikuti sebagian besar kaum muslimin di Maroko, Algers, Tunisia, Lybia dan Mesir. Begitu juga di Irak Palestina, Hijaz dan lain-lain disekitar Jazirah Arabia, sekalipun pengikutnya tidak seberapa banyak, diantaranya secara keseluruhan kira-kira mendekati jumlah empat sampai lima juta pengikut.


1 komentar: